Wednesday, November 30, 2011
URBAN SUFISM
URBAN SUFISM
Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia
SEMESTER I
Pembimbing :
Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA.
Penyusun :
Adi Mansah
SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER STUDI ISLAM
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011
1.
URBAN SUFISM
PENDAHULUAN
Istilah urban sufisme atau tashawuf menjadi popular setelah Julia Day Howell (2003) menggunakannya dalam satu kajian antropologi tentang gerakan spiritual yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, terutama kelompok-kelompok zikir dan sejenisnya, kegiatan spiritual ini juga diramaikan sekelompok anggota tarekat, yakni Qadiriyyah dan Naqsybandiyyah (TQN), yang secara rutin menyelenggarakan pengajian manakiban. Terdapat sekitar 158 tempat manakiban yang tersebar di berbagai wilayah di Jakarta. Kegiatan ini menandai bangkitnya aktifitas sufisme di perkotaan.
Spiritualisme memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena dia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini, melainkan juga muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Secara tak terduga dia justru menyembul di sana-sini, di tengah materialisme modern perkotaan.
Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Gaya hidup instan dan serba cepat termasuk konsumsi makanan yang tidak sehat, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi, kerusakan secara keseluruhan, dan sebagainya justru mengakibatkan manusia modern teralienasi dari diri mereka sendiri.
Hal tersebut dideskripsikan secara komplit oleh Albert Camus, yang menyebutnya sebagai fenomena absurditas dalam potret masyarakat modern, di mana manusia merasa asing di alam ini. Sebagaimana legenda Sisyphus yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, namun ketika hampir mencapai puncak, batu tersebut menggelinding ke bawah, dan begitu seterusnya.
Akibatnya, Sisyphus hanya terlibat dalam pekerjaan sia-sia seumur hidupnya. Hukuman Sisyphus ini merupakan metafora kehidupan modern, di mana manusia hanya menghabiskan usianya untuk siklus aktivitas sia-sia, yang justru menggiringnya ke arah ketidakseimbangan diri. Akibatnya, sebagian dari mereka memilih jalan pintas untuk keluar dari tekanan tersebut melalui cara-cara deviatif, seperti narkoba, minuman keras, dan bahkan bunuh diri. Namun demikian, tidak jarang dari mereka yang memilih jalan spiritualitas, termasuk mendirikan atau bergabung dengan paguyuban spiritual dan bahkan beralih kepada agama baru. Nauzubillah min zalik
RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Urban Sufisme..!
b. Persinggungan dan Perbedaan antara Urban Sufism dengan Tashawuf konvensional...!
c. Sufisme dan Tashawuf...!
d. Tauhid Sufistik...!
e. Tarekat-Tarekat Sufi..!
f. Hikmah Sufisme dan Tashawuf dalam Kehidupan Manusia...!
PEMBAHASAN
A. Urban Sufism
Pengertian urban sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat—sebagaimana yang dilakukan Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym—juga termasuk dalam kategori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang ditampakkan oleh komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah.
Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai telah menggeser popularitas tarekat konvensional. Kenyataannya tashawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di tengah hiruk-pikuk masyarakat modern. Fakta ini semakin menegaskan nilai universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi lokal. Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia.
Dalam kaitan inilah Komaruddin Hidayat melihat setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup; kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual; ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis; dan keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan.
Dalam tradisi sufisme, zikir bahkan menjadi inti keseluruhan ajaran yang disampaikan para guru sufi, khususnya mereka yang berafiliasi atau menjadi ikon salah satu tarekat tertentu. Para guru sufi umumnya menciptakan formula-formula dan rumusan zikir secara khusus, sehingga menjadi pembeda antara tarekat yang diajarkannya dengan tarekat lain. Demikian halnya dengan pembersihan diri (tahzib al-nafs) yang dihidangkan Aa Gym adalah tujuan akhir dari semua ajaran yang diberikan para ulama sufi terdahulu. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham dan Aa Gym dan para habaib merupakan bentuk lain dari tradisi berzikir dan bertashawuf yang telah berakar kuat dalam tradisi Islam.
Fenomena urban sufism di Indonesia tidak dimulai ketiga ustaz di atas, yang baru populer beberapa tahun belakangan. Prof. Dr. Buya Hamka, dengan buku Tashawuf Modern-nya, telah jauh mendahului ketiga ustaz tersebut. Prof. Dr. Buya Hamka adalah orang pertama yang memberi penekanan atas pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tashawuf tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat. Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan puisi-puisi sufi, khususnya karangan Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf, mulai sekitar 1980-an, saat itulah muncul dan terus berkembang sampai sekarang ini.
B. Persinggungan dan Perbedaan antara Urban Sufism dengan Tashawuf konvensional
Sebagai penejelasan pokok, saya ingin menggarisbawahi masalah persinggungan dan perbedaan antara apa yang terdapat dalam urban sufism dan tashawuf konvensional. Seperti ditunjukkan di atas, setidaknya dalam dua hal urban sufism dan tasawuf konvensional dapat ketemu: pertama dalam hal zikir, dan kedua dalam hal pembersihan hati (tahdhib al-nafs). Sejauh menyangkut zikir, para penggagas urban sufism dan para sufi konvensional sama-sama mengajarkan dan menekankan pentingnya zikir. Dalam fenomena urban sufism , penekanan pada aspek zikir terlihat pada contoh Arifin Ilham, Ustaz Haryono, dan juga Aa Gym. Pesantren Darut Tauhid pimpinan Aa Gym misalnya, mencanangkan motto lembaganya dengan “zikir, fikir, ikhtiar”, dan bertujuan untuk membentuk insan yang ramah, santun, berwibawa, rajin, trampil cekatan, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Ustaz Haryono mengolah zikir ini menjadi menu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hampir setiap waktu, ribuan pasien antri di rumahnya di Bekasi. Menu zikir dan penyembuhan ala Ustaz Haryono menjadi daya tarik tersendiri sehingga ia mampu menggugah puluhan ribu jamaah untuk mengikuti ritual zikirnya, baik di Pesantrennya di Pasuruan maupun di tempat lain di mana ia diundang oleh jamaahnya. Sementara itu, Arifin Ilham konsisten dengan promosi zikir taubatnya. Arifin Ilham menegaskan bahwa ia berzikir untuk “mengenal Allah secara lebih total” Konsep zikir ini juga menjadi perhatian dan ajaran utama dalam tasawuf konvensional. Oleh para sufi, zikir bahkan dianggap sebagai pintu gerbang utama (a’zamu babin) untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-Haq. Karena itu, dalam ajaran tasawuf konvensional, terutama setelah munculnya berbagai tarekat, tata cara zikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat lain. Dalam Tanbih al-Mashi, karangan seorang ulama Sufi Aceh Abdurrauf Singkel, dijelaskan bahwa zikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Zikir yang dianjurkan oleh hampir semua sufi, antara lain, adalah bacaan tahlil, لا اله الا الله (Tidak ada Tuhan selain Allah)
Hanya saja, ada sejumlah perbedaan menonjol antara konsep dan formula zikir yang dikembangkan oleh para penggagas urban sufism dengan tasawuf konvensional. Selain aturan zikir yang cenderung rigid dan ketat karena harus didahului dengan ikrar dan bai’at kita sebut aja tarekat naqsyabandiyah misalnya bagi penganut aliran tashawuf ini harus melalui beberapa tahap seperti mandi taubah dan di kafani layaknya orang sudah meninggal. Zikir dalam formulasi para sufi konvensional seringkali dijadikan sarana untuk mencapai penghayatan fana fi Allah (peleburan diri dalam Allah) dan bahkan fana fi fanaih (fana dalam fana itu sendiri). Oleh karenanya, tujuan tertinggi dari zikir itu sendiri adalah diperolehnya keyakinan mutlak akan keesaan Allah dan tenggelam di dalam-Nya, sehingga wujud hamba menjadi hilang dan menjadi tiada.
C. Sufisme dan Tashawuf
Sufi dan Tashawuf, sebagai sebuah istilah dan konsep sebagaimana yang dipahami sekarang belum dikenal pada jaman Nabi. Menurut Abdallah Anshari (w.1089 M) sebagaimana dikutip Carl. W. Ersnt bahwa sufi sebagai kata sebutan (laqab/gelar) pertama kali digunakan oleh Abu Hasyim al-Shufi (w. 767 M). Dua abad (254 tahun) setelah itu kemudian Abd al-Rahman al-Sulami (w. 1021 M) merumuskannya menjadi sebuah konsep.
Tashawuf sebagai sebuah konsep dipercayai pencetusnya sebagai bagian dari pemahaman terhadap al-Quran, walaupun Michael A. Sell (1996) secara tegas mengatakan bahwa spiritualitas al-Quran tidak pernah menekankan pada asketisme. Amalan puasa (shaum) yang tampak asketis, secara syar’i justru muncul sebagai wujud dari proses pemahaman diri dari seorang anak manusia yang harus selalu peduli dengan masyarakat sekitar. Sikap asketis dengan arti penarikan diri dari lingkungan sekitar merupakan sikap yang tidak dianjurkan oleh Nabi sendiri.
Munculnya kelompok pemakai baju wol (shûf) pada abad 2 H dicatat oleh Sell sebagai reaksi dari penyelewengan ajaran-ajaran orisinil Islam. Di mana pada masa itu, umat Islam terperangkap dalam penyakit hati dan sosial, seperti maraknya kerakusan para pejabat yang asosial. Korupsi disinyalir terjadi di mana-mana. Realitas sosio-politik tersebut, melahirkan gerakan zuhud yang pada periode berikutnya dicoba untuk diintegrasikan dengan al- Quran. Sell di sini tidak membagi kategori shuff yang dijustifikasi sebagai silent protes. Pada jaman Nabi, shuff diakomodir sebagai bagian dari simbol kesederhanaan dan kebeningan. Kesederhanaan dan kebeningan itu tidak hanya pada beranda (teras) rumah Nabi, tetapi kesederhanaan telah masuk sampai rumah dan pada diri Nabi sendiri. Dalam konteks ini shuff adalah identitas kesederhanaan dan kesalihan dalam Islam. Kemudian setelah Nabi wafat, tepatnya pada jaman Khalifah Utsman shuff berubah menjadi silent protest.
Bagi Said Aqil Siradj, bahwa jika dilihat dari asal muasal kelahirannya, zuhud adalah silent protesi kaum sufis. Protes mereka ditunjukkan dengan komunikasi non verbal melalui simbol “pakaian” dan cara hidup yang serba sederhana. Dengan demikian, zuhud yang secara lahiriyah dipandang sebagai bentuk hidup asketis. Secara sosio-kultural, zuhud adalah wujud dari kepedulian dan protes terhadap penyimpangan dari ajaran Islam yang sudah di luar batas syariat. Para penguasa saat itu seringkali menggunakan Islam sebagai alat legitimasi ambisi pribadi. Mereka bersemangat mengembalikan pesan orisinil Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Menurutnya, sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Sementara itu, dalam perspektif antropologis, paling tidak ada tiga pemahaman tentang sufisme (tashawuf), yakni sufi sebagai 1) sistem etika/moral, 2) seni/estetika, 3) atribut. Walaupun dua aspek yang disebut terakhir dipandang sebagai implikasi dari yang pertama. Pada aspek lain, sufi dengan sistem etikanya juga mendorong dan melahirkan karya seni yang memiliki cirri khas dari sufi itu sendiri. Karya seni ini meliputi sastra, sajak, puisi, arsitektur, musik, nyanyian, tarian, ornamen, batik, dan kaligrafi.
Adapun definisi Tashawuf (Sufism) itu sendiri jelas masih sangat jarang di mengerti oleh orang banyak. Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, ص,و,ف. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari ص,و,ف. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab صفو yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata صفو yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari ُصفا, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tashawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.
Apa pun asalnya, istilah tashawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tashawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tashawuf sepanjang zaman, bahkan istilah ini juga dipakai dan dipahami di Indonesia.
Imam Junaid dari Baghdad mendefinisikan tashawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah," syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tashawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tashawuf sebagai berikut:
Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.
Ia menambahkan, "Fondasi tashawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian, apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809) Tashawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnya adalah karunia Ilahi.
Syekh as-Suyuthi berkata, "tashawuf adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
Syekh Abdul Bahri berpendapat bahwa tashawuf adalah jalan menuju Allah dengan metode yang sangat halus dan mendalam disertakan pembentukan pribadi dan akhlaq yang baik kepada-Nya. Dengan melalui zikir-zikir dan amalan-amalan tertentu disertakan tareqat agar bisa meningkatkan maqom disisi-Nya.
Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tashawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tashawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
D. Tauhid Sufistik
Tauhib atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli. Karena itu maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif teologis seperti yang tercermin dalam konsep tanzih al-shifat-nya Mu’tazilah; tauhid dalam perspektif filosofis di mana dikatakan bahwa ada identitas antara esensi dan eksistensi pada diri Tuhan, seperti juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik inilah yang akan menjadi perhatian utama pada bagian ini.
Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat ”La Ilaha Illa Allah” sebagai ”tidak ada Tuhan kecuali Allah”, para sufi mengartikan kata “Ilah” sebagai “realitas”, sehingga kalimat syahadat itu bermakna, tidak ada realitas (hakikat) kecuali Allah. Dari sini mereka memahami hanya Allah lah yang real, yang hakiki, yang lainnya semu dan nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada: Dialah realitas terakhir, yang berarti wujud yang sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang hak, yaitu Tuhan, dengan Wujud. Dia adalah satu-satunya wujud yang hakiki, dan yang hak adalah satu-satunya yang Wujud. Dalam konteks inilah Sufi berbicara tentang kesatuan Wujud. (وحدة الوجود), di mana dinyatakan bahwa tiada lain yang wujud kecuali Dia. Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia bukanlah permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang terdalam seorang Sufi kehilangan kesadaran dirinya, ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah keadaan fana; setelah itu hanya kehadiran Tuhanlah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam kehadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut baqa, dimana seorang Sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan sebagai satu-satunya Wujud yang Hakiki. Dalam keadaan seperti inilah maka al-Hallaj menyatakan ”Aku adalah Tuhan”, “انا الحق”. Inilah inti tauhid sufistik.
Seperti halnya konsep wujud, konsep Tuhan para Sufi--khususnya yang hidup setelah Ibn ‘Arabi--juga akan terasa asing bagi telinga kita. Meskipun begitu konsep Tuhan mereka mungkin bermanfaat untuk meluaskan cakrawala pemahaman kita, dan bahkan menjadi pemersatu bagi konsep Tuhan para teolog dan filosof Muslim yang begitu kelihatan bertentangan bahkan bertolak belakang, seperti yang tercermin dalam kitab Tahafut al-Falasifah karangan al Ghazali.
Para Sufi falsafi melihat Tuhan dalam dua tahap atau wajah. Tuhan sebagai dzat (essensi) yang transenden dan Tuhan yang diekspresikan dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Tuhan sebagai dzat amatlah tingginya. Ia tidak bisa kita lukiskan bagaimana dan tidak ada pengetahuan positif apapun tentang-Nya. Apa yang dapat kita ketahui tentang-Nya adalah bahwa Ia tidak sama dengan apapun selain-Nya (ليس كمثله شيء ) dan tidak ada yang setara dengan-Nya (ولم يكن له كفوا احد). Inilah yang oleh para ahli disebut “teologi negatif”, di mana manusia hanya mengetahui-Nya secara negatif bahwa Ia berbeda dengan apapun yang dapat kita bayangkan. Ini terjadi karena dalam tahap ini Tuhan belum lagi mengentitas (Ghairmuta’ ayyun). Pada tahap ini, Tuhan bahkan belum bisa lagi disebut sebagai bersifat personal, dan belum pula bernama Allah sekalipun. Tuhan dalam tahap ini tidak punya kaitan apapun dengan alam. Inilah yang dimaksud dengan ayat “Inna Allah Ghaniy‘an al-alamin”. Di sini Tuhan tidak memikirkan yang lain kecuali diri-Nya sendiri.
E. Tarekat-Tarekat Sufi
Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing dengan ciri-cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota dari satu atau beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari seorang syekh sufi. Yang berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara pribadi telah akrab dengan penulis.
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.
Tarekat Rifa'iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifa'i (m. 1182) di Basra, tarekat Rifa'i telah menyebar ke Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir ini di Amerika Utara.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m. 1258) dan akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang luar biasa banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Maulawiyah
Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki (m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputar-putar.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha'uddin Naqsyaband dari Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi'ah, dan dengan demikian melalui Imam 'Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Bektasyiyah
Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan Syi'ah merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di Anatolia, Turki, dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini dipandang sebagai pengikut Mazhab Syi'ah.
Tarekat Ni'matullah
Tarekat Ni'matullah didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni'matullah (m. 1431) di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.
Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber Aljazair (rn. 1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan masuk ke Sudan bagian barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara Nigeria, dan telah diperkenalkan di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Jarrahiyah
Tarekat Jarrahi didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah dari Istambul (m. 1720). Tarekat ini terutama terbatas di Turki, dengan beberapa cabang di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Chistiyah
Tarekat yang paling berpengaruh di anak-benua India-Pakistan adalah tarekat Chisti, yang dinamai dengan nama pendirinya. Khwaja Abu Ishaq Syami Chisti (m. 966). Penyebarannya terutama di Asia Tenggara.
Tarekat-tarekat sufi, sebagaimana gerakan-gerakan lainnya, cenderung bersiklus. Siklus suatu tarekat sufi biasanya antara dua sampai tiga ratus tahun sebelum melemah dan merosot. Bilamana muncul suatu kebutuhan terhadap suatu tarekat sufi maka tarekat tersebut mulai bangkit, kemudian mencapai klimaksnya, lalu berangsur-angsur berkurang dan bubar. Satu kecenderungan yang dapat diamati dalam sejarah tashawuf ialah bahwa bilamana terdapat kekurangan dalam materi sumber Islam, seperti Al-Qur'an atau sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam suatu tarekat sufi, maka ia cenderung didominasi oleh kultur yang lebih kuat dan tua dari lingkungannya. Percampuran ini dapat dilihat pada tarekat Chistiyah di Asia Tenggara dan pada tarekat-tarekat sufi di Indonesia yang telah menyerap banyak unsur adat Hindu dan Buddha ke dalam praktik-praktiknya. Demikian pula, tarekat-tarekat sufi Afrika di bawah wilayah Sudan telah memadukan beberapa adat keagamaan suku-suku Afrika ke dalam praktik-praktik mereka. Nampaknya di kawasan-kawasan terpencil itu semua tarekat sufi telah mengambil warna kultus.
F. Hikmah Sufisme dan Tashawuf dalam Kehidupan Manusia
1-Memperteguhkan keimanan dan membina jatidiri muslim.
Tasawuf berfungsi memperteguhkan keimanan dan keyakinan serta menetapkan pendirian seseorang muslim. Apabila batin manusia bersih dari kekotoran sifat-sifat yang tercela dan dari kecintaan terhadap sesuatu yang lain dari Allah, akan terpancarlah (tajalli) cahaya kebenaran ilahi di dalam hati. Kesannya manusia dapat menyaksikan hakikat kebenaran Allah dan kepalsuan sesuatu yang lain dari-Nya dengan terang dan nyata. Inilah nur yang disebut dalam firman Allah yang bermaksud “maka sesiapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka dia itulah orang yang berada di atas cahaya (nur) dari Tuhannya”. Mengenai nur ini Nabi s.a.w. menjelaskan “bahawa nur itu, apabila memasuki hati, ia akan menjadi luas dan lapang (terbuka hijab)”. Iaitu hati yang terhijab dengan pelbagai hijab rohani sehingga ia terhalang dari menyaksikan kebenaran Allah, apabila ia disinari dengan nur ilahi, akan tersingkaplah hijab-hijab tersebut lalu ia dapat menyaksikan kebenaran ilahi.
Nur tersebut membawa kepada peningkatan darjat keimanan dan keyakinan hati serta memperteguhkan pendirian. Dalam keadaan ini, hati manusia tidak lagi dipengaruhi oleh sebab musabab, tidak merasa bimbang dan takut terhadapnya serta tidak lagi meletakkan pergantungan hati terhadapnya. Dia tidak merasa gelisah terhadap sumber-sumber rezeki, persoalan hidup atau mati, susah atau senang, kaya atau miskin, untung atau rugi, dapat atau tidak, menang atau kalah dan sebagainya lagi. Ini kerana hatinya telah menyaksikan dengan terang dan nyata kebenaran kewujudan Allah dan adanya ketentuan (qada’ dan qadar) dari-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Dia berkeyakinan penuh bahawa tidak akan terjadi sesuatu itu kecuali dengan kekuasaan, kehendak, ketentuan dan keizinan dari-Nya. Inilah kewalian yang sebenar-benarnya seperti yang digambarkan dalam firman Allah yang bermaksud “ketahuilah bahawa wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan ke atas mereka dan mereka itu tidak berduka cita”.
Inilah tingkatan iman yang utama iaitu iman yang didasari penyaksian batin terhadap kebenaran ketuhanan Allah. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling afdal ialah bahawa engkau mengetahui (dengan yakin) bahawa Allah menyaksikan dirimu di mana saja engkau berada”. Di sinilah letaknya jati diri seseorang mukmin. Allah memperteguhkan orang mukmin itu dengan keyakinan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahawa “Allah memperteguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang teguh”. Menurut ahli tafsir, kata-kata yang teguh itu ialah kalimat tauhid (La ilaha illallah), iaitu kalimat iman dan taqwa.
2-Menimbulkan kesedaran jiwa
Intipati tashawuf itu ialah benarnya tawajjuh hati ke hadrat ilahi. Permulaan tawajjuh hati itu ialah timbulnya kesedaran jiwa (intibah). Seseorang yang mengalami intibah itu akan menyedari kelemahan, kekurangan dan kesilapan dirinya. Kesedaran inilah yang akan membawa kepada taubat dan usaha memperbaiki dan menyempurnakan diri. Kesedaran ini jugalah yang membangkitkan usaha gigih dalam meningkatkan dan memartabatkan diri. Isyarat ini dapat dilihat dalam al-Qur’an di mana Allah berfirman yang bermaksud “dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perkara keji atau menzalimi diri mereka sendiri lalu mereka mengingati Allah, lantas mereka beristighfar terhadap dosa-dosa mereka, dan tiadalah yang mengampunkan dosa-dosa itu melainkan Allah, dan mereka itu tidak berlarutan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan sedangkan mereka mengetahuinya”.
3-Membina keperibadian dan akhlak mulia.
Tasawuf itu dari satu sudut ialah pencapaian akhlak mulia. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari tasawuf di mana akhlak itu adalah merupakan buah atau hasil dari tasawuf. Pencapaian tasawuf membawa kepada pembentukan akhlak mulia. Mengenai akhlak ini, Abu Bakr al-Kattani menjelaskan bahawa “tasawuf itu ialah akhlak, sesiapa yang menambahkan akhlakmu, maka sesungguhnya dia telah menambahkan kesufianmu”. Hakikat ini sesuai dengan hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “orang-orang mukmin yang paling sempurna iman ialah mereka yang paling baik akhlak”
Apabila seseorang itu mula merasai hakikat tasawuf dengan sendirinya dia akan berakhlak mulia, kerana pencapaian hakikat tasawuf itu membawa kepada kelembutan hati. Kelembutan hati itulah yang melahirkan berbagai akhlak mulia. Oleh itu semakin tinggi tahap kesufian seseorang itu maka semakin mulia akhlaknya. Nabi s.a.w yang merupakan imam ahli tasawuf adalah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda baginda yang bermaksud “sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
4-Membentuk insan yang bertanggungjawab
Tasawuf itu dari satu dimensi ialah merasai hakikat iman dan mencapai martabat ihsan. Sekurang-kurang martabat ihsan itu ialah seseorang itu merasai dan menyedari bahawa dirinya sentiasa dalam tilikan dan pandangan Allah. Kesedaran inilah yang akan menjadikan seseorang itu merasa bertanggungjawab. Orang yang mengalami kesedaran ini akan merasai bahawa dirinya akan dipersoalkan di hadapan Allah mengenai tanggungjawabnya terhadap dirinya, keluarganya dan juga masyarakatnya. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam perkara kasih sayang, rahmat merahmati, dan belas kasihan sesama mereka adalah seumpama satu tubuh, apabila satu anggota mengadu kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan merasainya dengan tidak dapat tidur malam dan demam”.
Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menjelaskan bahawa “iman itu ada lebih dari enam puluh tiga cabang, yang paling tinggi ialah ucapan La ilaha illallah, yang paling rendah ialah membuang sesuatu yang menyakiti di jalanan, dan sifat malu merupakan salah satu cabang iman”. Kemantapan dan kemurnian iman hasil dari pencapaian tasawuf akan menimbulkan rasa prihatin dan tanggungjawab terhadap orang lain. Timbulnya dorongan untuk tidak menyakitkan orang lain dan membuang sesuatu yang boleh menyakitkan mereka seperti yang disebut dalam hadis adalah merupakan hasil dari kemurnian jiwa atau tercapainya tasawuf.
5-Mewujudkan persaudaraan, perpaduan, dan sifat rahmat sesama manusia
Tasawuf itu dari satu sudut merupakan peningkatan tahap keimanan dan kesempurnaannya. Apabila tasawuf itu dicapai dan dirasai hakikatnya ia akan menimbulkan suatu keadaan kejiwaan di mana seseorang itu merasa kasih dan bertanggungjawab terhadap semua manusia dan juga makhluk-makhluk lain. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “tidak beriman seseorang kamu itu sehinggalah dia mengasihi untuk saudaranya apa yang dikasihinya untuk dirinya sendiri”. Demikian juga Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain adalah seumpama binaan di mana sebahagiannya memperteguhkan sebahagian yang lain”.
PENUTUP
G. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahawa tashawuf itu sebenarnya merupakan pencapaian martabat ihsan yang merupakan jiwa agama. Ia adalah satu dari tiga tunggak utama agama Islam. Pencapaian martabat ini bukan sahaja memperteguhkan hubungan seseorang itu dengan Tuhannya dalam bentuk peningkatan nilai keimanan, ibadah dan akhlak, malah juga hubungannya dengan sesama manusia dalam bentuk kewujudan rasa hormat menghormati, tanggungjawab dan keharmonian mu'amalah.
DAFTAR RUJUKAN
Agoes MD, 1999, “Merebut Hati Umat Lewat Zikir; Serial Bagian III: K.H. Arifin Ilham”, Femina Online.
Fathurahman, Oman, 1999, Tanbih Al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: EFEO & Penerbit Mizan.
_____________, 2003 ”Tarekat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui naskah-naskah di Sumatra Barat”, disertasi di FIB UI Depok.
Howell, Julie D., 2003, “Modernity and the Borderlands of Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks”, makalah dalam International Conference on Sufism and the Modern in Islam, Bogor, 4-6 September 2003.
Ilham, Arifin & Debby Nasution, 2004, Hikmah Zikir Berjamaah, (Jakarta: Penerbit Republika, cetakan VIII).
Johns, A. H., 1961, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II, 10-23.
www.wikimedia.org
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment