***AHLAN WA SAHLAN WA MARHABAN BIKUM DI BLOG ADI MANSAH LUBIZ*** assalamualaikum Pictures, Images and Photos
zwani.com myspace graphic comments
Graphics for Welcome Comments

Tuesday, November 22, 2011

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH
Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Studi al-Qur’an




SEMESTER I







Pembimbing
Dr.N. Oneng B, M.Ag





Disusun Oleh:

Adi Mansah

Aqsol Aziz






PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH

PENDAHULUAN
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surah berkenaan dengan suatu peristiwa. Asbabun nuzul ada kalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat-ayat al-qur’an. Alqur’an diturunkan untuk memahami petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya, sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah.
Dan kita tahu bahwa dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan yang utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha . Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya .
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah maka dimakalah inipun kami akan membicarakan masalah nasikh-mansukh.
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan . Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya .

PEMBAHASAN

I. ASBABUN NUZUL

A. Pengertian asbabun nuzul

Asbābun Nuzūl (Arab: اسباب النزول, Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat)) adalah ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan. Pada umumnya, Asbabun Nuzul memudahkan para Mufassir untuk menemukan tafsir dan pemahaman suatu ayat dari balik kisah diturunkannya ayat itu. Selain itu, ada juga yang memahami ilmu ini untuk menetapkan hukum dari hikmah dibalik kisah diturunkannya suatu ayat. Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat dapat membantu Mufassir memahami makna ayat. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul suatu ayat dapat memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna suatu ayat Al-Qur’an.
Asbabun nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat al-qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya),tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya. Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal. diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul. Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, Al-wahidi mengatakan: “ Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orangorang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal. Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuz tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul.
Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
B. Pedoman mengetahui Asbabun Nuzul

Aisyah pernah mendengar ketika Khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya Allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, Aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin samit. “Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat al-qur’an terhadap dua kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul. Sahabat Ali ibn mas’ud dan lainnya mengatakan tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam periwatanya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu (kejadian) maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini. Asbabun nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih ( mengambil riwayat yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.

C. Macam-Macam Asbabun Nuzul

Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa alsabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. karena permasalahan di dalamnya ada empat bentuk:
Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (Murajjih) dan lainnya tidak.
Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (Murajjih). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Dan keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin untuk mengambil keduanya sekaligus.

D. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul

Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”.
Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, Ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan
kepada nabi.
2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau
pertanyaan.
3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua
kelompok;
a. Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
b. Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.

E. Faedah Asbabun Nuzul
Setelah kita mengetahui tentang ilmu asbabun nuzul tentu akan membawa kemanfaatan untuk kita
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang
memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.

II. NASIKH MANSUKH

A. Pengertian Nasikh Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan .
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqaddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian .

B. Perbedaan antara Nasakh, Takhshis, dan Bada'
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan" meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang sefesifik yang datang kemudian;
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH TAKHSHIS
1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
2. Nasakh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.
4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang tedapat dalam mansukh. 1. Satuan yang terdapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz 'aam.
2. Takhshis adalah merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshis tidak menghapuskan hukum 'aam sama sekali. Hukum 'aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
5. Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada 'aam tetap terikat oleh dalil áam.
Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :
       •    
33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud" (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:
¢OèO #y‰t/ Mçlm; .`ÏiB ω÷èt/ $tB (#ãrr&u‘ ÏM»tƒFy$# ¼çm¨ZãYàfó¡uŠs9 4Ó®Lym &ûüÏm ÇÌÎÈ
35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
D. Jenis-jenis Naskh
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara Nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram . Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun . Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari . Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam sunnah dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam syari'at itu sendiri.
Oleh karena itu dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga dikalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas . Ini contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang lakukanlah!" . Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
E. Kedudukan Naskh
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan) . Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.
F. Hirarki Penggunaan Naskh
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at, baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi .
G. Kawasan penggunaan Naskh
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta( [21]). Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

H. Hikmah adanya Naskh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?( [23])
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

PENUTUP
Kesimpulan
Seteleh mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan panjang lebar
diatas, dapat kami simpulkan bahwasannya:
1. Asbabun nuzul didefinisikan “ sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an
diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi,
baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, serta memiliki faedah didalamnya.
2. Cara turunnya asbabun nuzul itu:
a. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
b. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
c. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua
kelompok;
a. Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
b. Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
3. Faedah asbabun nuzul
a. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
b. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
c. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hukum pada sebab menurut ulama
yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan
sebab dan bukan keumuman lafal.
d. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum
yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (
yang mengkhususkannya ).
e. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi
kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang
tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
f. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta
memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang
mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.

DAFTAR PUSTAKA

'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
Abdul Wahid, Ramli.1994.ulumul qur’an.Jakarta:Rajawali
Al Zarqani, Op.cit.,:80
Al-khattan, Manna’ khalil.2001.Studi ilmu-ilmu qur’an.Bogor:PT. Pustaka litera antar nusa
Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.
Al-Thusi, Uddat al-Ushul
Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78
Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
Shihab, Op.cit.,:144
Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.
Syadali, Ahmad.1997.Ulumul qur’an I.Bandung:CV. Pustaka Setia
Thamrin, Husni.1982.Muhimmah ulumul qur’an.Semarang:Bumi Aksara
Zuhdi, Masfuk.1993.Pengantar ulumul qur’an.Surabaya:Bina Ilmu

0 komentar:

Post a Comment