Thursday, October 22, 2009
SAAT TERAKHIR BERSAMA BUNDA
oLEH: aDI mANsAH aLFARUQ
SEMENJAK Ibuku meninggal dunia, semua adik dari ibuku membisu. Tidak ada seorang pun yang berbicara atau pun berkomunikasi dengan diriku. Seolah-olah semua bibiku menyimpan sesuatu yang disembunyikan dalam hatinya. Rumah semakin sepi dari gurauan dan canda yang membuat kegembiraan keluargaku sebeku batu. Suara Ibu yang biasanya memberikan nasihat dan ajaran pada anak-anaknya lenyap ditelan sang bayu. Biasanya aku dan kelurga ibuku selalu bergurau dan diskusi tentang apa makna hidup dan masa depan keluarga kami. Tapi sekarang berubah cepat seperti kilat, tidak ada seorang pun yang menyapaku dengan kalimat penyayang atau kebapaan.
Wajah Ibu selalu terbayang di setiap dinding rumah peninggalannya. Telinga dan mulut Ibu selalu tergambar di setiap pintu kamar rumah. Kedua tangannya selalu membelai tempat tidur di setiap kamar rumah. Dan ke dua matanya yang sayu dan tajam selalu mengawasi setiap gerak-gerik tingkah laku anak-anaknya yang menempati rumah tinggalnya.
Rumah Ibuku memang tidak begitu kecil dibandingkan dengan rumah yang berada di kompleks perumahan yang model empat enam. Rumah yang biasa ramai dengan penghuni enam atau lima orang yang selalu bercengkrama dengan kegembiraan itu, kini pudar sudah. Kini yang tinggal hanya sepasang suami istri muda dengan seorang perempuan muda yang baru lulus kuliah sebuah di perguruan tinggi.
Ibu meninggal dunia karena mengidap penyakit darah tinggi dan liver yang ganas dan penyakit-penyakit lainnya. Memang rawan sekali bagi seusia bunda yang kuat bekerja yang selalu beraktivitas tinggi tetapi kurang disiplin makan. Ibuku adalah seorang perempuan gigih dalam hidupnya. Tiada hari tanpa harapan dan cita-cita untuk mendidik anak-anaknya sebagai manusia yang bisa mandiri dan bertakwa. Demokratis pemikirannya selalu tercermin dalam mananggulangi masalah anak-anaknya. Ibuku cerewet. Tetapi perlu juga dicontek, kecerewetannya mengarah pada hal-hal yang benar juga. Jarang sekali Ibu melakukan kesalahan di depan mataku dan lima anak-anak lainnya.
Memang Ibuku meninggal tidak dalam keadaan sehat wal-afiat. Ibuku meninggal dunia setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit M. jamil Padang yang biayanya sangat mahal sekali.
Setelah lima hari menjalani perawatan di sebuah ruangan, Ibuku semakin tidak berdaya menahan rasa sakit dada dan punggungnya. Melihat keadaan Ibuku kesakitan seperti itu, aku dan adik perempuanku segera melaporkan ke perawat yang ada di ruang perawat. Dua orang suster ruangan yang sedang piket dengan segera melihat ke ruangan Ibuku, mereka dengan terburu-buru meminta bantuan kepada salah seorang dokter jaga di ruangan sebelah. Dokter jaga segera menghampiri Ibuku di ruangan nomor lima puluh.
"Maaf ya Bu, tolong atur napasnya. Jangan gelisah. Sabar ya Bu." Kata dokter jaga ruangan sambil memeriksa ibu yang terbaring lemas dan cemas.
Ibu semakin kelihatan tidak tenang. Kedua tangannya memegang besi tempat tidurnya. Napasnya yang tersengal-sengal semakin tidak terkendali. Kedua matanya terbuka lebar menahan rasa sakitnya. Beberapa lama kemudian kedua matanya tertutup perlahan. Hidungnya yang tertutupi oleh selang oksigen tidak cukup memberikan ketenangan di dalam jiwanya dalam mempertahankan hidupnya.
"Begini saja ya Bu, lebih baik saya telefon dokter yang menangani Ibu. Karena melihat kondisi Ibu di sini cukup mengkhawatirkan kalau di sini terus. Ibu harus dalam pengawasan intensif. Lebih baik pindah saja ke ruangan ICU. Dan itu harus persetujuan dokter yang menangani Ibu. Sebentar saya akan menghubunginya , ya. Tenang saja ya Bu." Kata dokter jaga sambil keluar ruangan pasien dan menuju ke ruangan perawat menghampiri sebuah telefon.
Waktu itu dokter jaga langsung saja menelefon dokter spesialis yang menangani Ibuku. Beberapa lama kemudian dokter yang menangan Ibuku datang, dan langsung memeriksanya dengan segera dan telaten.
"Selamat siang! Ibu bagaimana sekarang, tambah sakit ya ? Baik coba saya periksa dulu ya," kata dokter spesialis yang menangani Ibuku sambil memeriksa kembali dada, perut dan punggungnya. Dokter spesialis Ibuku sempat terdiam sejenak ketika memegang tangan kanan untuk merasakan nadinya. Lalu dia keluar ruangan pasien menuju ruangan perawat.
Aku sangat penasaran apa yang sedang dokter pikirkan. Maka aku segera menyusul dokter spesialis Ibuku dan menghampirinya.
"Bagaimana keadaan dan kondisi Ibu saya dok ?" Tanyaku sambil melihat wajah dokter yang sudah berumur itu.
"Sebaiknya Ibu saudara harus segera pindah ke ruangan ICU, karena Ibu saudara harus dalam pengawasan intensif. Keadaanya Ibu saudara semakin parah dan itu harus dalam penanganan yang serius". Itulah kata dokter sambil membuka kacamata minusnya. Dan tangan kanannya mengambil saputangan dalam kantung celananya yang berwarna hitam. Lalu membersihkan keringat di wajah tuanya itu. Lalu dokter itu menyodorkan surat perjanjian dan pertanggungjawaban perawatan dan pembiayaan pada saya.
"Silahkan saudara tandatangani surat ini segera, dan tolong baca terlebih dahulu."
Aku tertegun sebentar. Berpikir keras. Kedua mataku menatap dokter spesialis itu, hatiku berdebar seperti merasakan kesakitan yang dialami oleh Ibuku.
"Baiklah dok kalau begitu, lebih baik harus segera ke ruangan ICU" Kata saya sambil menandatangai surat perjanjian dan pertanggungjawaban perawatan Ibuku.
Setelah aku menandatangani surat perjanjian dan pertanggungjawaban perawatan dan pembiayaan, aku langsung masuk kembali ruangan lima puluh dan menghampiri Ibuku yang sedang cemas dan gelisah merasakan sakitnya.
"Bagaiman Kak ?" tanya adikku sambil matanya menatap padaku sepertinya ada yang dikhawatirkan dalam benaknya.
"Ibu harus segera pindah ke ruangan ICU, sekarang tolong bereskan barang-barang dan pakaian Ibu."
"Pindah ?" Adikku kaget, dan kedua matanya mulai berkaca-kaca.
"Ya pindah. Ibu harus sembuh seperti sediakala." Sambil membuka lemari pakaian pasien dan memasukkannya ke dalam ransel.
"Bu tenang saja, ya....pokoknya Ibu bisa sembuh kalau Ibu pindah ke ICU. Soal biaya jangan dipikirkan, yang harus Ibu pikirkan kembali untuk sehat sediakala," kataku seraya memandang Ibuku untuk tetap tegar dan sabar.
Ibuku tersenyum simpul. Matanya memandang tajam. Cahaya wajahnya bersinar menyinari pikiranku yang ikut juga berdebar melihat keadaan Ibuku. Kedua tangan Ibuku meraih bahuku lalu merangkul pada diriku.
"Terima kasih Di, terima kasih...semoga kebaikanmu bisa terbalas lebih dari kebaikan yang kau kerjakan pada Ibumu sekarang."
"Tenang saja bu, Ibu jangan menangis nanti sakitnya tambah parah. Sekarang tidur saja ya." Ucapku sambil menghapus air mata Ibuku, lalu menidurkannya kembali.Tanpa tersa airmataku mebasahi serbanku yang buram telah dua hari belum sempat di cuci.
"Ayo segera beres-beres barang-barangnya," kataku sambil menyuruh adikku untuk berkemas-kemas membereskan barang-barang agar keluar ruangan dan menuju ruangan tunggu ICU.
Tidak lama kemudian dua orang suster dengan segera masuk ke ruangan lima puluh, terus menghampiri Ibuku dan mendorong tempat tidur Ibuku lalu membawanya menuju ruangan ICU.
Aku dan adikku setelah beres memindahkan barang-barang Ibuku ke ruangan tunggu ICU, segera menuju ruangan ICU. Namun waktu aku dan adikku sampai di pintu ruangan ICU dokter jaga menahannya.
"Maaf Pak, Bapak dan Mbak tidak diperbolehkan masuk ruangan tanpa pakaian ruangan ICU. Sekarang Bapak belum bisa masuk ruangan ini, karena belum jam besuk. Mohon Bapak menunggu saja di ruangan tunggu ICU. Bapak tinggal mendengarkan panggilan dari kami jika ada apa-apa tentang kondisi kesehatan ibu" Begitulah ucap dokter jaga ruangan ICU sambil mempersilahkan aku dan adikku keluar dan menutup pintu ruangan ICU kembali.
Aku dan adikku terbengong sejenak saling pandang. Lalu segera keluar dan duduk di ruangan tunggu ICU. Aku segera menelefon semua kkerabatku termasuk ayah yang lagi menjaga adikku yang masih kecil2 di rumah, dan saudara-saudara Ibuku sambil meninggalkan ruangan tunggu ICU dan menuju mesjid terdekat di lingkungan rumah sakit untuk menunaikan shalat Jumat. Sementara adikku aku suruh diam dan menunggu, takut-takut ada panggilan dari ruangan ICU.
Sepulangnya aku dari Jumatan, perutku terasa lapar. Memang perutku dari pagi belum sarapan. Sambil pulang aku ke kedai sate dulu untuk membeli dua bungkus makanan alakadarnya. Sepanjang jalan menuju rumah sakit aku berpikir yang aneh-aneh dan perasaanku tidak enak.
Ketika aku sampai di ruang tunggu ICU terlihat adikku sedang melakukan salat duhur. Aku duduk di bangku ruangan tunggu ICU. Setelah selesai salatnya adikku menghampiriku, dan aku menyuruhnya untuk makan dulu.
"Ayo kita makan dulu, jangan membiarkan perut kita kosong tanpa makanan!" Sambil membuka kantung plastik yang berisikan dua bungkus sate dan dua bungkus plastis minum air teh hangat. Aku dan adikku makan bersama-sama, dan sebelumnya mengajak orang-orang lainnya yang sama menunggu keluarganya di tunggu ICU.
Sungguh tidak terasa, Ibuku sudah tujuh hari di ruangan ICU. Pertemuan aku dan Ibu sudah tidak bisa bertemu tiap detik atau tiap menit. Pertemuan hanya bisa dua jam dalam satu hari. Itu pun sesuai dengan jadwal jam besuk, jam dua belas dan jam empat sore. Pertemuan dengan Ibu semakin mahal dan singkat.
Aku dan adikku selalu berebutan untuk bertemu dengan Ibuku di ruangan ICU. Apalagi pakaian khusus ganti untuk yang besuk hanya sedikit yang tersedia. Keluargaku selalu kebagian besuk paling belakang untuk melihat kondisi Ibu.
Pertemuan yang terbatas itu, ternyata awal dari sebuah pertemuan yang panjang. Sekarang aku bisa merasakannya bahwa pertemuan yang selalu dihitung dengan jam adalah sebuah pertemuan singkat untuk mengawali kepergian sang Ibu tercinta menuju penciptanya. Semoga Tuhan bisa mengampuni segala dosa perdosaannya, dan engkau Ibu bisa tidur terbaring nyenyak dalam pangkuan Khaliknya. Amin. ***
KUPERSEMBAHKAN BUAT BUNDA YG TELAH PERGI....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment