Saturday, September 26, 2009
Ada Apa Dengan Tasawuf?
Di Pindahkan Oleh :Adi Alfarouq
Fenomena Tasawuf menemukan ruang di tengah kehampaan dunia modern. Padahal, riwayat kemunculan dan pertumbuhannya sarat kontroversi. Islam sudah paripurna, lalu masih perlu tasawuf?
A lkisah, Asy-Sya’rani yang menulis kitab Daur al-Ghawash menceritakan sebuah fenomena tasawuf di masa lalu. Katanya, orang-orang sufi merelakan diri hingga bersabar terhadap makanan selama empat puluh hari atau lebih. Sebagian lagi, lanjut Sya’rani, berangkat haji dari Mesir hanya dengan bekal empat roti, yang ia makan seperempatnya setiap hari dalam perjalanan. Sahl at-Tasturi, seorang tokoh sufi lainnya, berujar, “Meninggalkan sesuap makan malam itu lebih aku sukai daripada qiyamullail.”
Kisah di atas mudah ditemukan dalam berbagai buku tentang pernak-pernik kehidupan sufi atau tasawuf. Sebuah paham yang muncul di abad pertengahan ketika masyarakat Islam masa itu hidup dalam gelimang kemewahan. Kehampaan spiritual tak ayal menimpa sebagian umat Islam.
Sejak lama, para ahli sendiri berselisih pendapat tentang asal usul kata Sufi atau Tasawuf. Di antara pendapat yang paling mengemuka adalah berasal dari kata “shuf” yang bermakna bulu kulit kambing dan kata “shafa” yang berarti bersih dan suci. Apa pun, dalam pandangan Dr Daud Rasyid, MA dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, istilah tasawuf tidak dikenal dalam sejarah awal Islam. Setidaknya pada tiga abad pertama yang dijuluki sebagai masa terbaik (HR Bukhari). Yang populer, tambah Dr. Daud yang juga pakar hadits ini, justru istilah mukmin, muslim, atau zahid dan abid.
Di zaman Rasulullah saw sendiri, istilah tasawuf tidak pernah terdengar. Setelah tiga abad pertama, barulah istilah ini muncul. Namun, Koordinator Majelis Zikir Az-Zikra Ustadz M. Arifin Ilham punya penjelasan lain. Menurutnya, dalam Islam tasawuf itu ada sebagai amaliyah (praktik). “Kita belajar iman itu dengan ilmu Tauhid, ilmu Ushuluddin. Semua ini hanya penamaan saja. Seperti ilmu Fiqh, nggak ada di zaman Nabi. Tapi, sekarang ini dikumpulkan bahasan-bahasan itu,” papar Arifin yang dikenal aktif mengajak zikir berjamaah.
Peneliti dari LPPI Ustadz Hartono Ahmad Jaiz membantah. Menurutnya, persoalan Tasawuf tak bisa disederhanakan begitu saja. “Ilmu-ilmu Islam, sampai ilmu alat seperti nahwu dan sharaf pun merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Tapi Tasawuf itu tidak. Ia berbicara dengan landasan lain, seperti bisik, ilham dan lainnya,” urai Hartono yang dikenal banyak menulis buku.
Menelisik tasawuf memang bukan persoalan mudah. Setidaknya di negeri kita yang dikenal kental dengan aroma animisme dan sinkretisme. Ajaran tasawuf pun disusupi oleh berbagai penyelewengan akut yang terus berkembang. Hal ini dijelaskan oleh Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Prof. Simuh. “Penyimpangan-penyimpangan ini karena adanya pengaruh dari mistik Hindu, Budha, Animis, Kebatinan. Sementara Islam itu menghendaki adanya budaya Tauhid atau pengesaan Tuhan yang jernih. Tasawuf jadi tidak jernih lagi.”
Menurut Simuh, tasawuf tidak bisa mengembangkan budaya tauhid. Alasannya, di samping mempercayai keesaan Tuhan, kaum sufi juga menyembah dan memitoskan wali, seperti Wali Songo. “Apalagi setelah berkembang menjadi banyak ordo atau tariqat, akibatnya hanya tinggal komat-kamit zikir seharian di masjid, sehingga umat Islam ketinggalan zaman,” urai Simuh yang dikenal banyak melakukan penelitian di bidang tasawuf.
Sulit menampik uraian Simuh yang sebenarnya banyak dititikberatkan pada berbagai fenomena lokal Nusantara. Riwayat panjang Tasawuf juga memuat beberapa tokoh yang mengaku sufi. Sebut saja al-Hallaj dengan paham “Wihdatul Wujud” yang meyakini bersatunya Tuhan dengan makhluk. Belakangan, ia diikuti oleh Siti Jenar di pulau Jawa. Keduanya dipancung berdasarkan fatwa para ulama masa itu.
Syekh Abdurrahman Abdul Khaliq, seorang ulama dari Kuwait, menulis kupasan panjang dalam bukunya “Al-Fikru As-Shufi” (Penyimpangan-penyimpangan Sufi). Ia mengupas berbagai sudut penyimpangan tasawuf, mulai dari zikir sufistik, menerima ajaran dari kubur, hingga adab murid yang diajarkan. Pesan yang terkenal dari mereka adalah “Jadilah di hadapan gurumu seperti seorang mayat di hadapan orang yang memandikan.” Terang saja, hal ini amat bertentangan dengan prinsip Islam, dimana setiap orang bisa salah kecuali para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam.
Penyimpangan lainnya, menurut Syekh Abdurrahman adalah keharusan mencari syekh yang merupakan kewajiban pertama bagi murid tariqat. Abdul Karim al-Qusyairy menyebutkan dalam Al-Qusyairiyah (hlm 181), “Wajib bagi seorang murid untuk beradab kepada syekh. Jika ia tidak memiliki guru, maka imamnya adalah syetan.”
Lebih jauh, Syekh Abdurrahman menyebutkan banyaknya kemiripan antara Tasawuf dan Syiah (hlm.351-379), paham yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Kemiripan itu misalnya tampak dalam keyakinan tentang imam yang mirip dengan paham wali dalam tasawuf. Kemiripan lainnya, adalah dikotomi antara konsep agama dari sisi lahir maupun batin. Menurut mereka, sisi lahir bisa dipahami oleh kaum awam, sedang sisi batin hanya dapat dipahami oleh para imam dan wali.
Ustadz Ihsan Ilahi Zahiri, seorang ulama Pakistan yang dikenal pakar aliran-aliran sesat menulis sebuah tesis tentang tasawuf. Dalam “Dirasaat fi at-Tashawwuf” (Darah Hitam Tasawuf, Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi), Zahiri menguraikan panjang lebar tentang kesesatan kalangan ini. Mereka misalnya, meninggalkan syariat seperti shalat Jum’at dan shalat lima waktu secara berjamaah, seperti diriwayatkan dari Barkat al-Khayath.
Penyimpangan lain dijelaskan sendiri oleh Al-Faituri, salah seorang tokoh sufi. “Memukul al-bandir (alat musik) dan berdansa diperbolehkan jika dilakukan karena cinta.” Memainkan alat musik ini adalah bagian dari Sima’. Pengertian Sima’ itu sendiri amat beragam seperti disebutkan para tokoh sufi. Ar-Raudzabari berkata, “Sima’ adalah membuka seluruh rahasia, untuk bisa melihat kekasih (Allah).” Di lain waktu, Raudzabari mengungkapkan definisi lain yang berbeda; yaitu, “Logika yang dengannya kebenaran terlihat dan terucapkan sejak zaman azali.” Pengertian lain disebutkan oleh seorang guru sufi lainnya; yaitu, “Kilat yang bersinar lalu padam dan sinar yang muncul kemudian tersembunyi.”
Banyak lagi definisi lainnya yang tak kalah membingungkan. Tambah sulit dimengerti ketika kaum Sufi, menurut Prof Zahiri, menjadikan ajaran Sama’ ini tak jauh beda, bahkan lebih mengungguli etika mendengarkan al-Qur’an, wal ‘iyadzu billah.
Masih banyak penyimpangan yang disebutkan oleh kedua buku ini yang, sebagai kajian, sangat komprehensif dan ilmiah. Kedua penulis juga memiliki reputasi sebagai pakar dalam bidang akidah dan aliran-aliran yang ada dalam tubuh umat Islam.
Di sisi lain, mungkin saja ada sementara kalangan yang mengambil memahami tasawuf dari segi menjaga kebersihan hati dan akhlak. Boleh jadi, hal ini diambil dari beberapa ulama yang ditokohkan oleh kaum sufi, seperti Hasan al-Bashri, Sufyan At-Tsauri, Imam Syafi’i, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Al-Ghazali, dan lainnya. Padahal mereka sendiri tidak mengaku sufi
Namun, pada hakikatnya, akhlak mulia dan kebersihan hati telah diajarkan oleh Islam. Ajaran tentang zuhud, wara’, sabar, tawakkal, raja’ (pengharapan), cinta, khauf (takut), ihsan, dan lainnya telah dikupas tuntas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah saw dan para sahabat telah mempraktikkannya secara par excelent (paripurna). Tak heran jika mereka dijuluki sebagai “umat yang terbaik”. Rasulullah saw adalah orang yang zuhud. Di saat yang sama beliau menikah, memimpin perang dan negara.
Umar bin Khaththab adalah orang yang suka menangis, bahkan pernah pingsan ketika disebut Nama Allah. Di saat yang sama, Khalifah Rasyidah kedua ini adalah negarawan dan panglima perang handal di zamannya. Utsman bin Affan adalah sahabat yang kaya raya, namun ia hanya menikmati sekadarnya. Matanya sering berlinang air mata ketika malam telah gelap gulita. Karena itu, para sahabat Rasulullah saw sering digambarkan ibarat “kuda di siang hari dan rahib di malam hari.” Mereka terbiasa menangis ketika berzikir dan membaca ayat suci al-Qur’an dalam kesendirian, bukan di tengah kerumunan banyak orang.
Lalu, kenapa perlu memakai istilah tasawuf jika Islam sendiri sudah lengkap dan sempurna (QS al-Maidah: 3)? “Saya termasuk yang mengelak dari istilah tasawuf,” tegas Ustadz Ihsan Tandjung, seorang dai yang aktif berdakwah. Ihsan lebih senang menggunakan istilah tarbiyah ruhiyah (pendidikan ruhani) dan tarbiyah an-nafsi (pendidikan jiwa).
Akhirnya, butuh kearifan, ketulusan hati dan lapang dada untuk senantiasa berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah seperti dipahami oleh Rasulullah saw dan para sahabat. Bukankah ini solusi untuk menghindari perselisihan di tengah umat (QS an-Nisa’: 59)?
M. Nurkholis Ridwan
Wednesday, September 23, 2009
Eid-uLFitri | Unofficial Tradition | The Gift
It is normal "tradition" especially among Malaysian who celebrate Eid-alFitri to give a money to childrens especially, in the small envelope like the one my son holding on to. It is not something "a must" but nowadays it became somewhat like an "Unofficial Gift" to make children happy but as a parents we should educate our child that Eid-alFitri is not all about collecting money but most importantly to bridge the gap among our family members, friends and also among the muslim as a whole by visiting each other.
Sejarah kaca dan kristal
About glass history , and how it was developped through time ?
Glass as a natural material was found since time was begun as a result of volcanic eruptions in the form of melted rocks. These rocks were used by Stone Age’s man as cutting tools. However, it is believed that the first man-made glass objects around the 3500 BC were found in Egypt and Eastern Mesopotamia in the form of pots and vases and from there it might be transported by Phoenician merchants along the coasts of the Mediterranean. Hollow glass production was also evolving around the 16th century BC in Egypt besides some activities in Greece, China and North Tyrol
After 1500 BC, Egyptian craftsmen are known to have begun developing a method of producing glass pots and the earliest examples of Egyptian glassware are three vases bearing the name of the pharaoh Thoutmosis 3 who brought glassmakers to Egypt as war prisoners from Asia. Over the following years glass production thought to be spread from Alexandria to Italy.
The discovery of glassblowing was attributed to Syrian craftsmen from the Sidon-Babylon area but the ancient Roman began later blowing the glass inside moulds greatly increasing the variety of shapes .It was the Romans who began to use glass for architectural purposes, with the discovery of clear glass (through the introduction of manganese oxide). Alexandria remained the most important glassmaking area in the East, producing luxury glass items mainly for export.
Towards the year 1000, a significant change in European glassmaking techniques took place. Given the difficulties in importing raw materials, soda glass was gradually replaced by glass made using the potash obtained from the burning of trees. At this point, glass made north of the Alps began to differ from glass made in the Mediterranean area, with Italy, for example, sticking to soda ash as its dominant raw material.
In the middle Ages, the Italian city of Venice assumed its role as the glassmaking centre of the western world. The Venetian merchant fleet ruled the Mediterranean waves and helped supply Venice’s glass craftsmen with the technical know-how of their counterparts in Syria, and with the artistic influence of Islam. Until the end of the 13th century, most glassmaking in Venice took place in the city itself. However, the frequent fires caused by the furnaces led the city authorities, in 1291, to order the transfer of glassmaking to the island of Murano.
In the 14th century, another important Italian glassmaking industry developed at Altare, near Genoa and during the 16th century, craftsmen from Altare helped extend the new styles and techniques of Italian glass to other parts of Europe, particularly France.
In the second half of the 15th century, the craftsmen of Murano started using quartz sand and potash made from sea plants to produce particularly pure crystal. By the end of the 16th century, 3,000 of the island’s 7,000 inhabitants were involved in some way in the glassmaking industry.
The development of lead crystal has been attributed to some English glassmaker, who patented his new glass in 1674. He had been commissioned to find a substitute for the Venetian crystal produced in Murano and based on pure quartz sand and potash. By using higher proportions of lead oxide instead of potash, he succeeded in producing a brilliant glass with a high refractive index which was very well suited for deep cutting and engraving.
It was not until the latter stages of the Industrial Revolution, however, that mechanical technology for mass production and in-depth scientific research into the relationship between the composition of glass and its physical qualities began to appear in the industry.
A key figure and one of the forefathers of modern glass research was some German scientists, who used scientific methods to study the effects of numerous chemical elements on the optical and thermal properties of glass, also invented a tank furnaces. This rapidly replaced the old pot furnaces and allowed the continuous production of far greater quantities of molten glass.
Towards the end of the 19th century, some American engineer invented an automatic bottle blowing machine which only arrived in Europe after the turn of the century.
Although this brief history comes to a close nearly 40 years ago, technological evolution naturally continues. Not yet ready to be “relegated” to a history of glass are areas such as computerized control systems, coating techniques, solar control technology and “smart matter”, the integration of micro-electronic and mechanical know-how to create glass which is able to “react” to external forces.
http://asfourku.blogspot.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)