Friday, July 10, 2009
Monday, July 6, 2009
Profil
ADI MANSAH ALFARUQ /EMAIL:adi_alfaruq@yahoo.com
- Age: 24
- Gender: Male
- Astrological Sign: Taurus
- Zodiac Year: Ox
- Industry: Student
- Location: Cairo : Egypt : Indonesia
About Me
Aku adalah aku Bukan kau, dia ataupun mereka Bukan matahari, bulan ataupun bintang Bukan siang ataupun malam Bukan panas ataupun hujan Aku adalah aku Bukan bunga yang mekar di musim semi Bukan angin yang menyejukkan di siang hari Bukan cahaya yang menyinari bumi setiap hari Bukan air yang bisa menghilangkan dahaga Aku adalah aku Bukan idola yang dipuja-puja Bukan orang yang kebanggaan Bukan pangeran tampan dalam dongeng Bukan konglomerat yang punya segalanya Aku adalah aku Aku yang selalu hidup penuh penderitaan Aku yang selalu merasa kecil Aku yang selalu pesimis Aku yang selalu menyerah Aku yang selalu merasa kalah Aku yang cenderung benci diri sendiri Aku dengan segala kejelekanku Sekarang apakah kau kenal aku? Dan tetap mau jadi temanku? please add aku.... # Siapa yang Ingin Saya Temui: Teman yang baik adalah seseoarng yang bisa memberi kebahagiaan kpd temannya yang lain.....semoga kita bisa menjadi teman yg baik itu...add aja ana yach.....adi_alfaruq@yahoo.com.Allah memberkati kita Amiiiinnnnn
Pemuda, Islam dan Globalisasi
Oleh : Adi Mansah Alfaruq
Hegemoni & Pembajakan Kesadaran
Globalisasi telah mencabut “waktu” dari “ruang”. Peristiwa yang terjadi di pojok bumi selatan bisa ditonton oleh masyarakat yang hidup di pojok bumi utara dalam waktu bersamaan. Ini menandakan bahwa “ruang” telah mengecil, tidak ada lagi “jarak” yang membatasi setiap “ruang”. Globalisasi, menyatukan “ruang” yang berserakan di bumi ini menjadi satu wilayah yang sempit, bahkan tak lagi “berdinding”.
Televisi (TV) adalah salah satu instrumen globalisasi. Semua peristiwa dapat kita saksikan melalui TV. TV merobek dan menembus batas “ruang” dan mencabut waktu yang menghubungkan setiap ruang. Setiap hari, perhatian kita tersedot ke layar TV, berharap dapat menyaksikan berita dan informasi tentang kejadian-kejadian di sekitar kita.
Dalam ukuran tertentu, globalisasi seperti yang digambarkan di atas mengandung hal positif. Masyarakat hidup dalam suasana yang penuh dengan keterbukaan terhadap informasi. Tidak ada masyarakat yang terisolasi dari suasana global. Kemajuan peradaban sebuah masyarakat, akan menjadi bahan refleksi dan contoh bagi pembangunan peradaban di masyarakat lain.
Suasana keterbukaan ini tidak bisa dielakkan, karena instrumen globalisasi menjadi instrumen yang sangat membantu dan mendukung aktifitas kita. Karena itu, globalisasi hadir dalam kehidupan kita tanpa perlawanan. Menolak globalisasi bisa menjadi penolakan terhadap hidup itu sendiri.
Namun sesungguhnya, globalisasi itu merupakan ruang kontestasi (perlombaan) budaya. Sebab mengecilnya dunia menjadi satu “ruang sempit” menimbulkan benturan budaya masing-masing masyarakat. TV yang bisa disebut sebagai salah satu instrumen penting globalisasi itu, mempunyai peran penting dalam kontestasi tersebut.
Setiap saat, teman setia kita adalah TV. Bahkan jadwal aktifitas kita, sedikit banyak dipengaruhi oleh menu yang ditawarkan TV. Pagi, sebelum berangkat ke kantor kita punya jadwal menonton berita politik, ekonomi, dan tidak ketinggalan berita seputar selebritis. Sore sampai malam, ada sinetron-sinetron menarik yang siap menemani kita. Bahkan, malam-malam tertentu, kita sudah membuat agenda tidak keluar rumah untuk menyaksikan sinetron dan acara pilihan yang spesial.
Sedikit banyak, TV telah membentuk kesadaran berpikir kita tentang nilai-nilai baik, jahat, indah, buruk, benar, salah, dst. Karena itu TV menjadi “lubang hitam kebudayaan”. Sebab nilai-nilai yang dipromosikan dalam layar kaca tersebut menghegemoni pemirsanya. Ada sinetron yang sering mempertontonkan keluarga bahagia dengan rumah mewah, dengan mobil sedan mahal. Ditambah lagi adanya ajang perlombaan menjadi orang sukses dengan menjadi penyayi. Semua itu menghegemoni kesadaran pemirsa tentang kemewahan sebagai kebaikan, kesuksesan hidup dengan menjadi orang tenar (baca: penyanyi), dst.
Di sinilah titik rawan globalisasi. Globalisasi menciptakan ruang yang dapat “membajak” kesadaran masyarakat untuk menjadi masyarakat yang lain. Globalisasi bisa menjadi Amerikanisasi—juga Arabisasi—, dimana dominasi informasi dan film-film Amerika menguasai menu yang disuguhkan TV dan instrumen globalisasi lainnya. Maka nilai-nilai kebaikan dalam persepsi masyarakat Indonesia misalnya, adalah nilai-nilai kebaikan yang dikonstruksi oleh masyarakat Amerika.
Ini bukan berarti kita harus menolak globalisasi lantaran globalisasi adalah Amerikanisasi. Sebab, nilai-nilai yang ditawarkan Amerika sendiri tidak semuanya buruk dan berbahaya. Demokrasi contohnya, adalah nilai-nilai luhur yang kita (baca: umat Islam dan bangsa Indonesia) terima dari Amerika sebagai kebaikan dalam bernegara dan bemasyarakat. Dalam penjelasan ini, sejatinya kita melihat secara kritis tentang nilai-nilai buruk yang membajak kesadaran, tanpa memandang apakah itu berasal dari Barat atau dari Islam.
Artikulasi Pemuda Islam
Dalam konteks situasi hegemonik seperti inilah pemuda Islam diharapkan dapat menumbuhkan keberagamaannya yang lebih membumi. Sejauh pengamatan saya, sebagian besar pemuda Islam, dan umat Islam umumnya, masih memperlakukan Islam sebagai lembaga yang mengatur tata cara pengabdian kepada Tuhan, sehingga nilai ibadah yang tetinggi dalam kacamata mereka adalah manakala melakukan ritualitas (baca: ibadah mahdoh) secara sempurna dengan aturan-aturan baku yang telah ditetapkan. Dengan begitu, Islam tidak dijadikan sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan kritik sosial, justru terkesan dijauhkan dari problem sosial (baca: pembajakan kesadaran, konsumerisme, hedonisme, selebrisme, kedangkalan, dst).
Perjuangan pemuda Islam harus menegaskan bahwa Islam yang berorientasi ritual, telah mengebiri ideologi emansipatorisnya. Sejarah menceritakan bahwa sejak awal, perjuangan Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah melakukan emansipasi harkat manusia. Islam di awal pertumbuhannya, mendekonstruksi (baca: mengkritisi dan menolak) perbudakan yang saat itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan kata lain, nabi Muhammad mengajak manusia untuk kritis terhadap tatanan masyarakat yang telah ada dalam masyarakat. Dan itu bukan pekerjaan mudah, sebab beliau berada dalam masyarakat yang telah terhegemoni, yang kesadarannya telah dibajak oleh agama para leluhur.
Pemuda Islam sejatinya mulai membaca kondisi objektif sosial yang diakibatkan globalisasi. Sederhananya dapat dikatakan bahwa kesalehan (baca: mengerjakan ibadah mahdoh) harus disertai dengan pembacaan konteks sosial sekarang. Kemudian, bersikap terhadapnya. Dengan begitu, keberagamaan yang bermakna ditemukan.
Penggunaan hermeneutika sosial dan hermeneutika teks (baca: hermeneutika ibadah mahdoh) adalah pilarnya. Pengagungan kesalehan individual, yang membanggakan praktek ritual individu semata, tidaklah cukup untuk disebut sebagai pengikut rosulullah saw. Pengabaian terhadap problem dan dampak globalisasi yang menerpa umat manusia, adalah sikap yang tidak islami dan mengkhianati perjuangan suci rosul saw.
Wallahu,alam
Saturday, July 4, 2009
Nilai Kasih Ibu
Seorang anak yang mendapati Ibunya sedang sibuk di dapur, lalu menuliskan sesuatu diselembar kertas. Kemudian si Ibu menerima kertas tersebut dan membacanya..
Ongkos Upah Membantu Ibu:
- membantu pergi ke warung 20rb
- menjaga adik 20rb
- membuang sampah 5rb
- membereskan tempat tidur 10rb
- menyiram bunga 15rb
- menyapu 15rb
Total 85rb
Selesai membaca, Ibu tersenyum dan mengambil pena kemudian menulis dibelakang kertas yang sama dengan isi:
Kasih Yang Tak Terbalas
Di Saat musim dingin menyapa, kota Cairo di selimuti hawa dingin yang menembus pintu dan jendela flat yang kami sewa di sekitar daerah Nasr City, rasanya sangat menusuk tubuh sampai ke tulang sumsum, di suasana malam datang menjelma di saat sang mentari telah pergi keperaduannya. Dinginnya bagaikan hawa kulkas yang suhunya mencapai puluhan derjat "celcius" di bawah nol, itulah yang aku rasakan dikala malam datang di musim dingin. Apalagi aku tiada memiliki selembar selimut yang tebal seperti layaknya teman-temanku di rumah, namun aku masih bisa berusaha memejamkan mata, walaupun harus menyelip di sela-sela tepi selimut mereka, terkadang mereka rela, terkadang mencela, itulah nasib orang yang tak punya, tetapi hari-hariku di musim dingin tetap aku lalui meskipun harus menempuh berbagai rintangan yang penuh dengan onak dan duri, serta kerikil tajam, kesemuaanya itu dapat aku lalui berkat sabar dan ketabahanku yang telah menjadi kebiasaanku, sewaktu di pondok dulu, karena aku menyadari bahwa hidup ini penuh perjuangan.
Di balik dinginnya keadaan suasana di suatu malam, hanya satu hal yang menyulitkan untuk memejamkan dua kelopak mataku, yaitu mengingat dan merenungi nasib bunda yang sedang sakit-sakitan di kampung di waktu itu, sampai di saat aku pamit demi menuntut ilmu ke negri kinanah ini, sepatah katapun tiada terucap dari bibirnya, hanya air matanya yang menetes mengantarkan dan melepas kepergianku. Malam ini bayangannya seakan datang menjelma membawakan aku selembar selimut tebal, seraya beliau berkata :
“Nak,,,kaulah harapan bunda, giatlah kau menuntut Ilmu supaya bisa membimbing adik-adikmu, selamat tinggal anakku, dan doakan bunda”
Mataku sulit untuk dipejamkan, aku hanya tertegun dengan bayangan itu, tanpa terasa air matapun mengalir di pipiku, mungkin itulah jawaban dari pesan bundaku. Kring…kring, HP yang dulu dihadiahkan oleh bunda sebelum keberangkatanku ke negeri ini berdering, spontan aku terkejut dan langsung ku "sambar" HP itu, sebuah gambar amplop terlampir dilayar HP sebagai tanda sebuah pesan dikirim untukku, ternyata itu dari ayahku :
“Asslmkm…Radit..!gimana kabarmu nak? Ayah alhmdllh sht, kau jgn sedih dan cemas…! Perbanyaklah doa, minta kepada Allah agar bundamu di beri kesehatan oleh-Nya. Bundamu sekarang sedang di rawat di RS M Jamil Pdg, kau harus sbr dan tawakkal kpd Allah, dan jangan putus asa ya.nak.”Wassalam.
Deraian air mataku tak tertahan dan terbendung lagi, terasa tubuh ini dicabik sembilu yang tajam, serta diiringi rasa cemas, seribu pertanyaan datang dalam benakku. Apakah bayangan tadi pertanda akhir pertemuan dengan bunda…? Apakah pesan tadi juga mengkhabarkan bahwa bunda akan pergi…? Apakah semua itu suatu khalayan semata atau perasaanku saja…? Ku tak sanggup menjawab itu semua , karna aku masih sayang bunda, aku cinta bunda, aku merindukan bunda. Hanya SMS kedua yang datang dari ayahku yang bisa menjawab atas segala pertanyaan itu :
"Nak…kau harus ingat, kita ini hanyalah Lumpur hitam yang mendebu, menempel di sandal dan sepatu, hinggap di atas aspal terguyur hujan lebat, terpelanting masuk comberan. Siapapun tak mampu menahan kehendak-Nya. Kau harus bersabar dengan taqdir Ilahi yang menimpa, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, bundamu telah pergi, mehembuskan nafas terahirnya di RS M jamil Padang pukul 10.00 WIB, atau pukul 05.00 WK".
Saat itu di pagi hari sewaktu aku ingin kemesjid "limoesin" shalat shubuh berjamaah. “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi rajiûn.” Itulah kata yang terucap dari bibirku yang pucat dan dingin ini, bagaikan seorang nara pidana yang divonis hukuman mati. Saat itu tubuhku rasanya tiada berdaya, tiada berguna, aku hanya bisa berdoa dalam shalat, sujud, dan zikirku. Semoga Allah menerima bunda di sisi-Nya, dan memberiku ketabahan serta semangat hidup dari segala cobaan ini:
“Kenapa Bu, kenapa bunda tinggalkan aku secepat ini, di saat aku belum bisa membalas jasa dan kasih sayangmu?, walau sedikit saja bunda..belum bisa ku lakukan untukmu. Tak bisakah engkau menunggu sampai anakmu pulang?, sungguh kepergianku ke negeri seribu menara ini hanya untukmu bunda, untuk keluarga kita. Ku ingin dan berharap engkau bisa melihat anakmu berhasil dan berjaya, apalah arti hidupku ini tanpa kehadiran bunda disisiku? Untuk apa aku pergi, jika bunda juga harus pergi…"
Rabu kelabu yang sangat menyiksaku dengan beribu-ribu kecemasan dan kesedihan, pagi yang suram ini aku hanya sarapan dengan kedukaan, kepedihan, keputusasaan dan rasa penyesalan. Nasi ku makan terasa basi air ku minum terasa duri di saat kepergiannya. Apakah semua ini salahku dan aku penyebabnya,? Durhakakah diriku karena telah meninggalkanmu di saat engkau masih membutuhkanku?. Hanya doa yang bisa terucap dari mulutku yang kelu karena kesedihan ini :
“ Ya Allah ampunilah segala dosa bunda. Tempatkan ia di taman surga-Mu. Berilah kasih dan sayang-Mu kepadanya, karena dia yang paling aku cinta. Ya Allah ridhoilah ia dengan rahmat-Mu, jadikan kuburnya sebagai taman dan tempat peristirahatan yang baik. Dan abadikanlah cinta kami di dunia hingga akhirat nanti, satukanlah kami di surga-Mu…..”
Hari –hari yang kulalui terasa hampa, diriku hanyut dalam duka yang menerpa, terbesit di lubuk hati ini untuk segera terlepas dari duka lara yang menderaku. Tapi aku bingung kemana tempatku mengadu? Ku tersentak dari lamunan ini tatkala sahabat-sahabatku datang menghampiri, ku tumpahkan seluruh keluh kesah yang ada sedang membekas di lubuk hati ini, karena hanya merekalah yang selalu setia menemaniku dalam suka dan duka, susah senang menjalani getirnya hidup ini. Mereka memeluk dan merangkulku, mengusap airmataku dikala bercucuran, mereka bagaikan tetesan air di tengah tandusnya padang pasir gurun sahara, yang memberikan kesejukan dan semangat baru dalam diriku, untuk tetap bisa berdiri tegak menghadapi beratnya cobaan yang harus ku lalui. Aku sangat bersyukur, karena mereka datang di saat diriku haus akan kasih sayang :
"Kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu. Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Hidupmu hudupku. Hidupku hidupmu".
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataan mereka, nasehatnya bagaikan guyuran hujan di tanah yang gersang dan tandus, yang telah lama tak tersentuh air, mereka memberikanku sejuta semangat serta harapan :
“Sahabatku !, bundaku sudah pergi untuk selamanya. jiwaku bagaikan hidup sebatang kara di negeri perantauan ini. Kasih sayang itu seolah menjauh, dan terus…menjauh meninggalkanku. Aku tak bisa lagi merasakan indahnya kasih sayang seorang ibu seperti apa yang kau rasakan, engkaulah pelupur laraku yang bisa membangkitkan semangat hidupku. Titipkanlah seuntai doa dalam tahajjudmu semoga bundaku di terima di sisi-Nya dan persahabatan ini senantiasa abadi untuk selamanya sampai ajal memisahkan kita.”
Setelah aku mencurahkan segala kegundahan dalam hati, akupun merasa lega dengan "support" yang mereka berikan padaku. Karna sedikitpun aku tiada pernah menyangka bahwa ini akan berlaku pada diriku yang malang ini, dulu aku meninggalkan bunda dengan untaian air mata, sekarang air mata itupun harus menetes dan mengalir lagi, aku tak mampu lalui semua ini. Kesedihan sekarang lebih berat aku rasakan dari yang sebelumnya. Aku tak bisa menahan rasa sedih yang menyelimut rasa cinta dan kasih sayang pada bunda, yang telah pergi untuk selamanya, seorang ibu yang merawat dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, kasihnya tiada tara dan bertepi, sehingga aku tak mampu menampungnya, dia penyejuk jiwa pelepas rindu disaat kesedihanku. Sekarang hanya tinggal satu nama dan kenangan, tiada tempat bermanja lagi, tiada tempatku mencurahkan hati, karena bunda yang tercinta telah tiada, dia telah pergi, dia telah menghilang.
Bunda kau permata impianku, engkau harapanku sewaktu kita bersama dulu,ku terbayang selalu tawa, gurau, dan senyummu, disaat aku salah dan lalai engkau pukul aku, kau marahi aku namun itu menandakan sayangmu. Sampai suatu malam ayah tak memberiku makan namun engkau selalu membelaku anakmu yang nakal ini. Engkau seorang ibu yang patut aku kenang jasa, kasih , dan sayangmu, serta nasehat yang pernah engkau berikan dulu masih terngiang di telingaku. Kini negeri seberang membuatku mengerti akan pahitnya hidup ini, kurindu padamu untuk kembali, telapak kakimu dulu kucium kini tiada lagi, kepergianmu bagaikan padamnya pelita dalam hidupku, aku merasa lebih baik hilang seribu bidadari dunia yang cantik dari diriku, daripada harus kehilangan dirimu yang sangat berarti dalam hidupku. Akan tetapi itu semua tak mampu aku menahannya, karena di balik gunung masih ada gunung, diatas langit ada langit. Allah telah menentukan Qudrat-Nya apalah daya seorang hamba yang hina dina. Jangankan untuk menolak kekuasaan-Nya melarang sehelai ubanpun aku tiada berdaya. Memang apabila tiba saatnya, siapapun tiada mampu menahan dan lari darinya yaitu sakratulmaut yang telah di cantumkan dalam Al-Quran yang berbunyi :" kullu nafsin zdâiqatul maut. Setiap yang bernyawa pasti akan merasai mati(ajal). Al-ayah ".
Cinta sesama makhluk memang penuh kekecewaan dan penyesalan, karena dia akan pergi dan meninggalkan kita. Di balik cinta kepada manusia atau makhluk lainnya, ternyata masih adalagi cinta yang lebih berarti, cintanya hakiki dan abadi tiada pernah berakhir sampai kapanpun, yaitu cinta akan sang khaliq yang maha kekal lagi bijaksana, pengatur alam semesta termasuk diri kita, cintai dia engkau takkan pernah dikecewakan-Nya, sayangi dia engkau takkan pernah di tinggalkan-Nya. Oleh sebab itu cintailah sesuatu itu sekedarnya karena engkau akan dikecewakan dan ditinggalkannya, serta bencilah sesuatu itu karena suatu saat engkau akan butuh dirinya. Sehingga aku sadar bahwa seorang pujangga mengungkapkan cinta yang hakiki itu hanya untuk Tuhan semesta dalam sebuah syairnya :
"Cinta yang tulus di dalam hatiku
telah bersemi karena-Mu
hati yang suram kini tiada lagi
telah bersinar karena rahmat-Mu
semua yang ada di dunia milik-Mu
membuat diriku tiada berdaya
hanyalah pada-Mu
aku serahkan hidup dan matiku"
Tuhan yang kuasa terimalah bunda dan tempatkanlah dia disisi para hamba-hambamu yang engkau muliakan. Kini hanya doa yang dapat ku kirimkan semoga bunda bahagia di sana . Aku sayang bunda, aku cinta bunda walaupun kini telah tiada, namun engkau tetap ada di dalam hatiku untuk selamanya. Sepatah doa selalu aku ucapkan untukmu :"Allâhummaghfir lî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayânî shanghîra." Ya Allah ampunkan dosaku beserta dosa kedua orang tuaku dan kasihi mereka sebagaimana ia mengasihi aku diwaktu kecil." Amin…
Modikasi Ekstrim, Antara Elegan, Sport, dan Show Car
Demi sebuah modifikasi ekstrim, para penggemar otomotif rela mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Bagi orang-orang seperti ini, mobil bukan lagi sebagai sarana transportasi, tapi sudah menjadi lambang gengsi dan prestasi.
Setiap manusia mempunyai karakter dan kesenangan yang berbeda-beda, begitu juga terhadap mobil modifikasi ekstrim. Parin Budiman, modifikator Auto Design menjelaskan, agar terjadi keserasian antara mobil dan pemilik, modifikasi ekstrim harus sesuai dengan karakter pemiliknya. Misalnya, kaum eksekutif yang sehari-hari berpenampilan elegan, kurang cocok mengendarai mobil modifikasi sport, tipe pria seperti ini hanya cocok mengendarai mobil dengan modifikasi elegan,
Ada tiga jenis modifikasi ekstrim, yaitu elegan, sport, dan show car. Bagian yang dimodifikasi biasanya velg, bodi, interior, mesin dan kaki-kaki. Begitu juga dengan modifikasi ekstrim elegan yang biasanya ditandai dengan pergantian velg yang lebih besar yaitu 19 ince, bodi menjadi lebih ceper (pendek-Red), interior elegan, misalnya ada tempat wine, jok sofa mewah dan sound system yang mahal.
"Untuk elegan, mobil yang dimodifikasi biasanya mobil premium keluaran Eropa, karena bodi premium Eropa lebih besar dan indah. Bukan berarti premium Jepang tidak bisa dimodifikasi, bisa saja! Cuma tingkat peminatnya tidak sebanyak seperti mobil premium Eropa," ujar pria kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1978 ini.
Penggemar modifikasi ekstrim elegan biasanya adalah kaum eksekutif mapan, usia 35 tahun ke atas. "Mobil sudah menjadi gaya hidup buat orang-orang seperti ini. Mobil melambangkan kepribadian dan prestasi. Semakin indah dan mahal biaya modifikasinya, maka semakin tinggi pula prestasinya," tambah Parin.
Kecepatan Ekstrim Sport
Agak berbeda dengan elegan, modifikasi ekstrim sport lebih berjiwa muda. Selain mengganti velg, ban, bodi, audio dan jok, mesin juga ikut dirombak, tujuannya agar tenaga mesin bertambah kuat. Karena modifikasi sport ditujukan bukan semata untuk penampilan tapi juga untuk olahraga reli.
Itulah yang menyebabkan Derri Arfiandi, pria lulusan Universitas Trisakti ini merombak Honda Jazz keluaran 2004-nya menjadi lebih ekstrim. "Tema dari modifikasi saya adalah extreme racing style. Jadi, yang saya lakukan full extreme modifikasi yang dipadukan dengan gaya mobil balap," kata Derri.
Pada bagian bawah yaitu velg dan ban, Derri melangkapi Jazz-nya dengan velg 5Zigen 18 inci. Sedangkan untuk ban, Derri menggunakan Pirelli 285/35 18 (depan) dan Toyo 235/35 18 (belakang). Audio, menggunakan subwoofer Visonik 12 D22pc, subwoofer Visonik 10 D42 pc, speaker coaxial Visionik 6 satu set, speaker coaxial Visionik tiga set, power Venom 4100 empat channel, power Venom 460 empat channel, TV Indash Oris dan TV Skplosont (depan), TV LCD 15 compact (belakang), head unit DVD Pioneer 5050 DVH, lampu led custom dan peredam Deromat.
Sebelumnya, Derri pernah memodifikasi mobilnya dengan tema alam. Setelah merasa bosan, ia mengubahnya dengan tema ekstrim dan bergaya balap. Pekerjaannya pun relatif singkat, sekitar dua bulan. Mobil pertama yang ia modifikasi adalah Honda City keluaran tahun 1996. Menurutnya, tiap mobil yang akan dimodifikasi mempunyai karakter kesulitan tersendiri."Setiap mobil tidak sama. Saya suka Honda karena bentuknya lebih fleksibel untuk dimodifikasi," cerita penggemar mobil Jepang ini.
Hal serupa disampaikan oleh Parin Budiman, mobil produksi Jepang paling cocok untuk ekstrim sport. Ekstrim sport paling banyak digemari generasi muda saat ini, anak SMA dan kuliah, dengan usia 17-25 tahun. Anak muda paling suka mobil berkarakter sport yang bisa diajak ngebut."Agar mobil bisa lari cepat, peralatan dan aksesoris yang dipakai adalah alat-alat ringan, karena kalau berat maka mobil tidak bisa dibawa ngebut," tambah Parin.
Estetika Show Car
Mobil dengan modifikasi ekstrim show car biasanya hanya digunakan untuk perlombaan dan dipajang. Maka jangan heran bila mobil-mobil seperti ini tidak akan terasa nyaman dikendarai. Penggemar modifikasi ekstrim show car tidak mempedulikan kenyamanan, tapi estetika. Kepuasan yang diperoleh bukan hanya saat mengendarainya, tapi saat orang memberikan komentar dan berdecak kagum.
Berbeda dengan elegan dan sport yang terbatas pada mobil-mobil tertentu, modifikasi tipe ini dapat menggunakan semua jenis mobil, termasuk mini bus, truk dan pick up. Itu karena modifikasi ekstrim show car mengandung unsur gila, dimana yang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin. Misalnya, ada televisi di dalam lampu atau ada akuarium dalam mobil. Kunci keberhasilan show car adalah harus dapat menarik perhatian banyak orang.
Menurut Parin, mobil seperti ini kebanyakan bukan untuk dipakai, tapi untuk perlombaan. Wajar bila tingkat kesulitan dalam memodifikasinya lebih tinggi, karena merombak semua unsur, baik interior maupun eksterior, bahkan membutuhkan biaya sampai ratusan juta rupiah. Ini hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar gila akan modifikasi.
Itulah yang di lakukan oleh Henry Dian P. Setiap melihat mobil Henry, orang pasti akan bertanya-tanya, mobil apakah itu? Tak tanggung-tanggung, Henry memotong atap BMW 318i E46 sehingga terbuka lebar. Semenjak SMA, pengelola bengkel Dian Mobil ini sudah mulai suka memodifikasi mobil, Seiring perjalanan waktu, Henry kerap mengikuti ajang pameran dan kontes mobil modifikasi. Awalnya, ia ikut pamerar modifikasi di kategori cat. Semenjak itu iapun mulai tertarik lebih dalam di bidang modifikasi mobil. "Pertama kali saya mencoba eksperimen cat, dan dari situ saya semakin tertarik untuk meng-explore segalanya. Ternyata banyak sisi yang bisa diungkap dari sebuah mobil," katanya.
Diakui oleh pria lulusan Harvard University, USA, jurusan manajemen dan Boston University, Amerika, jurusan teknik indusrit ini, bahwa modifikasi BMW-nya dengan kapasitas sebagai show car telah menelan biaya sampai ratusan juta rupiah. Untuk tema modifikasi BMW 3181 E46 ini, Henry mengambil tema Space Chameleon (Bur glon Ruang Angkasa). Tema itu jelas terpancar dari cat di badan mobil dan ruang interiornya yang mirip ruang angkasa dan air brushnya yang mirip binatang bunglon Warnanya yang hijaupun semakin memperkuat karakter bunglon. Dengan desain yang revolusioner itu, Henry berhasil meraih predikat "The King" di ajang Ivans Auto Modified 2005 dan The King Auto Salon Surabaya 2005.
Friday, July 3, 2009
Gelar Dari Minang
Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang, setelah dapat mengumpulkan sedikit modal dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.
Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Bahkan tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI.
Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya, ada Prof., ada Phd. dll. Usman merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.
Dibuatlah papan naman dari perak, dipesan dari Koto Gadang, dengan nama DR.Usman Chaniago MSc.
Ketika ayahnya datang berkunjung, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu dia, Usman hanya berdagang.
Dengan malu-malu Usman menerangkan gelarnya di papan nama, "Nama itu artinyo 'Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat'."
Bagaimana Cara Masuk Surga
Pada suatu hari ada seorang guru yang bertanya kepada muridnya
Guru : "Anak-anak pak guru ini sudah tua , pak guru sudah banyak berbuat baik kepada kalian.Apakah pak guru ini bisa masuk surga ?"
Murid: "TIDAK!!!!!!!"
Guru : "Lho mengapa tidak bisa ? pak guru kan sudah sering berbuat baik kepada kalian."
Murid: "TIDAK!!!!!!!"
Guru : "Kalau begitu pak guru akan bertanya kpada kalian.bagaimana caranya agar pak guru dapat masuk surga ?"
Murid: "caranya pak guru harus meninggal dunia dulu baru bisa masuk surga"
Guru : "Dasar kalian kurang ajar !!!!!!"
Sang Primadona
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.
Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."
"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."
Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.
Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"
"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***
sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com