***AHLAN WA SAHLAN WA MARHABAN BIKUM DI BLOG ADI MANSAH LUBIZ*** assalamualaikum Pictures, Images and Photos
zwani.com myspace graphic comments
Graphics for Welcome Comments

Wednesday, November 30, 2011

URBAN SUFISM

URBAN SUFISM Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia SEMESTER I Pembimbing : Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. Penyusun : Adi Mansah SEKOLAH PASCASARJANA MAGISTER STUDI ISLAM KONSENTRASI HUKUM ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2011 1. URBAN SUFISM PENDAHULUAN Istilah urban sufisme atau tashawuf menjadi popular setelah Julia Day Howell (2003) menggunakannya dalam satu kajian antropologi tentang gerakan spiritual yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, terutama kelompok-kelompok zikir dan sejenisnya, kegiatan spiritual ini juga diramaikan sekelompok anggota tarekat, yakni Qadiriyyah dan Naqsybandiyyah (TQN), yang secara rutin menyelenggarakan pengajian manakiban. Terdapat sekitar 158 tempat manakiban yang tersebar di berbagai wilayah di Jakarta. Kegiatan ini menandai bangkitnya aktifitas sufisme di perkotaan. Spiritualisme memang tidak pernah mati. Bukan hanya karena dia terus diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya dari kalangan masyarakat yang masih memegang tradisi ini, melainkan juga muncul di pusat budaya yang sesungguhnya sedang kencang menuju ke arah yang sama sekali berbeda dengannya. Secara tak terduga dia justru menyembul di sana-sini, di tengah materialisme modern perkotaan. Kemakmuran, kemajuan teknologi, kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, dan kompetisi yang makin ketat telah melahirkan tekanan yang terkadang tidak tertahankan. Gaya hidup instan dan serba cepat termasuk konsumsi makanan yang tidak sehat, kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi, kerusakan secara keseluruhan, dan sebagainya justru mengakibatkan manusia modern teralienasi dari diri mereka sendiri. Hal tersebut dideskripsikan secara komplit oleh Albert Camus, yang menyebutnya sebagai fenomena absurditas dalam potret masyarakat modern, di mana manusia merasa asing di alam ini. Sebagaimana legenda Sisyphus yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, namun ketika hampir mencapai puncak, batu tersebut menggelinding ke bawah, dan begitu seterusnya. Akibatnya, Sisyphus hanya terlibat dalam pekerjaan sia-sia seumur hidupnya. Hukuman Sisyphus ini merupakan metafora kehidupan modern, di mana manusia hanya menghabiskan usianya untuk siklus aktivitas sia-sia, yang justru menggiringnya ke arah ketidakseimbangan diri. Akibatnya, sebagian dari mereka memilih jalan pintas untuk keluar dari tekanan tersebut melalui cara-cara deviatif, seperti narkoba, minuman keras, dan bahkan bunuh diri. Namun demikian, tidak jarang dari mereka yang memilih jalan spiritualitas, termasuk mendirikan atau bergabung dengan paguyuban spiritual dan bahkan beralih kepada agama baru. Nauzubillah min zalik RUMUSAN MASALAH Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Urban Sufisme..! b. Persinggungan dan Perbedaan antara Urban Sufism dengan Tashawuf konvensional...! c. Sufisme dan Tashawuf...! d. Tauhid Sufistik...! e. Tarekat-Tarekat Sufi..! f. Hikmah Sufisme dan Tashawuf dalam Kehidupan Manusia...! PEMBAHASAN A. Urban Sufism Pengertian urban sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat—sebagaimana yang dilakukan Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym—juga termasuk dalam kategori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang ditampakkan oleh komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah. Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai telah menggeser popularitas tarekat konvensional. Kenyataannya tashawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di tengah hiruk-pikuk masyarakat modern. Fakta ini semakin menegaskan nilai universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi lokal. Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia. Dalam kaitan inilah Komaruddin Hidayat melihat setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup; kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual; ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis; dan keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan. Dalam tradisi sufisme, zikir bahkan menjadi inti keseluruhan ajaran yang disampaikan para guru sufi, khususnya mereka yang berafiliasi atau menjadi ikon salah satu tarekat tertentu. Para guru sufi umumnya menciptakan formula-formula dan rumusan zikir secara khusus, sehingga menjadi pembeda antara tarekat yang diajarkannya dengan tarekat lain. Demikian halnya dengan pembersihan diri (tahzib al-nafs) yang dihidangkan Aa Gym adalah tujuan akhir dari semua ajaran yang diberikan para ulama sufi terdahulu. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham dan Aa Gym dan para habaib merupakan bentuk lain dari tradisi berzikir dan bertashawuf yang telah berakar kuat dalam tradisi Islam. Fenomena urban sufism di Indonesia tidak dimulai ketiga ustaz di atas, yang baru populer beberapa tahun belakangan. Prof. Dr. Buya Hamka, dengan buku Tashawuf Modern-nya, telah jauh mendahului ketiga ustaz tersebut. Prof. Dr. Buya Hamka adalah orang pertama yang memberi penekanan atas pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tashawuf tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat. Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan puisi-puisi sufi, khususnya karangan Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf, mulai sekitar 1980-an, saat itulah muncul dan terus berkembang sampai sekarang ini. B. Persinggungan dan Perbedaan antara Urban Sufism dengan Tashawuf konvensional Sebagai penejelasan pokok, saya ingin menggarisbawahi masalah persinggungan dan perbedaan antara apa yang terdapat dalam urban sufism dan tashawuf konvensional. Seperti ditunjukkan di atas, setidaknya dalam dua hal urban sufism dan tasawuf konvensional dapat ketemu: pertama dalam hal zikir, dan kedua dalam hal pembersihan hati (tahdhib al-nafs). Sejauh menyangkut zikir, para penggagas urban sufism dan para sufi konvensional sama-sama mengajarkan dan menekankan pentingnya zikir. Dalam fenomena urban sufism , penekanan pada aspek zikir terlihat pada contoh Arifin Ilham, Ustaz Haryono, dan juga Aa Gym. Pesantren Darut Tauhid pimpinan Aa Gym misalnya, mencanangkan motto lembaganya dengan “zikir, fikir, ikhtiar”, dan bertujuan untuk membentuk insan yang ramah, santun, berwibawa, rajin, trampil cekatan, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Ustaz Haryono mengolah zikir ini menjadi menu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hampir setiap waktu, ribuan pasien antri di rumahnya di Bekasi. Menu zikir dan penyembuhan ala Ustaz Haryono menjadi daya tarik tersendiri sehingga ia mampu menggugah puluhan ribu jamaah untuk mengikuti ritual zikirnya, baik di Pesantrennya di Pasuruan maupun di tempat lain di mana ia diundang oleh jamaahnya. Sementara itu, Arifin Ilham konsisten dengan promosi zikir taubatnya. Arifin Ilham menegaskan bahwa ia berzikir untuk “mengenal Allah secara lebih total” Konsep zikir ini juga menjadi perhatian dan ajaran utama dalam tasawuf konvensional. Oleh para sufi, zikir bahkan dianggap sebagai pintu gerbang utama (a’zamu babin) untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-Haq. Karena itu, dalam ajaran tasawuf konvensional, terutama setelah munculnya berbagai tarekat, tata cara zikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat lain. Dalam Tanbih al-Mashi, karangan seorang ulama Sufi Aceh Abdurrauf Singkel, dijelaskan bahwa zikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Zikir yang dianjurkan oleh hampir semua sufi, antara lain, adalah bacaan tahlil, لا اله الا الله (Tidak ada Tuhan selain Allah) Hanya saja, ada sejumlah perbedaan menonjol antara konsep dan formula zikir yang dikembangkan oleh para penggagas urban sufism dengan tasawuf konvensional. Selain aturan zikir yang cenderung rigid dan ketat karena harus didahului dengan ikrar dan bai’at kita sebut aja tarekat naqsyabandiyah misalnya bagi penganut aliran tashawuf ini harus melalui beberapa tahap seperti mandi taubah dan di kafani layaknya orang sudah meninggal. Zikir dalam formulasi para sufi konvensional seringkali dijadikan sarana untuk mencapai penghayatan fana fi Allah (peleburan diri dalam Allah) dan bahkan fana fi fanaih (fana dalam fana itu sendiri). Oleh karenanya, tujuan tertinggi dari zikir itu sendiri adalah diperolehnya keyakinan mutlak akan keesaan Allah dan tenggelam di dalam-Nya, sehingga wujud hamba menjadi hilang dan menjadi tiada. C. Sufisme dan Tashawuf Sufi dan Tashawuf, sebagai sebuah istilah dan konsep sebagaimana yang dipahami sekarang belum dikenal pada jaman Nabi. Menurut Abdallah Anshari (w.1089 M) sebagaimana dikutip Carl. W. Ersnt bahwa sufi sebagai kata sebutan (laqab/gelar) pertama kali digunakan oleh Abu Hasyim al-Shufi (w. 767 M). Dua abad (254 tahun) setelah itu kemudian Abd al-Rahman al-Sulami (w. 1021 M) merumuskannya menjadi sebuah konsep. Tashawuf sebagai sebuah konsep dipercayai pencetusnya sebagai bagian dari pemahaman terhadap al-Quran, walaupun Michael A. Sell (1996) secara tegas mengatakan bahwa spiritualitas al-Quran tidak pernah menekankan pada asketisme. Amalan puasa (shaum) yang tampak asketis, secara syar’i justru muncul sebagai wujud dari proses pemahaman diri dari seorang anak manusia yang harus selalu peduli dengan masyarakat sekitar. Sikap asketis dengan arti penarikan diri dari lingkungan sekitar merupakan sikap yang tidak dianjurkan oleh Nabi sendiri. Munculnya kelompok pemakai baju wol (shûf) pada abad 2 H dicatat oleh Sell sebagai reaksi dari penyelewengan ajaran-ajaran orisinil Islam. Di mana pada masa itu, umat Islam terperangkap dalam penyakit hati dan sosial, seperti maraknya kerakusan para pejabat yang asosial. Korupsi disinyalir terjadi di mana-mana. Realitas sosio-politik tersebut, melahirkan gerakan zuhud yang pada periode berikutnya dicoba untuk diintegrasikan dengan al- Quran. Sell di sini tidak membagi kategori shuff yang dijustifikasi sebagai silent protes. Pada jaman Nabi, shuff diakomodir sebagai bagian dari simbol kesederhanaan dan kebeningan. Kesederhanaan dan kebeningan itu tidak hanya pada beranda (teras) rumah Nabi, tetapi kesederhanaan telah masuk sampai rumah dan pada diri Nabi sendiri. Dalam konteks ini shuff adalah identitas kesederhanaan dan kesalihan dalam Islam. Kemudian setelah Nabi wafat, tepatnya pada jaman Khalifah Utsman shuff berubah menjadi silent protest. Bagi Said Aqil Siradj, bahwa jika dilihat dari asal muasal kelahirannya, zuhud adalah silent protesi kaum sufis. Protes mereka ditunjukkan dengan komunikasi non verbal melalui simbol “pakaian” dan cara hidup yang serba sederhana. Dengan demikian, zuhud yang secara lahiriyah dipandang sebagai bentuk hidup asketis. Secara sosio-kultural, zuhud adalah wujud dari kepedulian dan protes terhadap penyimpangan dari ajaran Islam yang sudah di luar batas syariat. Para penguasa saat itu seringkali menggunakan Islam sebagai alat legitimasi ambisi pribadi. Mereka bersemangat mengembalikan pesan orisinil Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Menurutnya, sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Sementara itu, dalam perspektif antropologis, paling tidak ada tiga pemahaman tentang sufisme (tashawuf), yakni sufi sebagai 1) sistem etika/moral, 2) seni/estetika, 3) atribut. Walaupun dua aspek yang disebut terakhir dipandang sebagai implikasi dari yang pertama. Pada aspek lain, sufi dengan sistem etikanya juga mendorong dan melahirkan karya seni yang memiliki cirri khas dari sufi itu sendiri. Karya seni ini meliputi sastra, sajak, puisi, arsitektur, musik, nyanyian, tarian, ornamen, batik, dan kaligrafi. Adapun definisi Tashawuf (Sufism) itu sendiri jelas masih sangat jarang di mengerti oleh orang banyak. Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, ص,و,ف. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari ص,و,ف. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab صفو yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata صفو yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari ُصفا, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tashawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun. Apa pun asalnya, istilah tashawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka. Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tashawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tashawuf sepanjang zaman, bahkan istilah ini juga dipakai dan dipahami di Indonesia. Imam Junaid dari Baghdad mendefinisikan tashawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah," syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tashawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tashawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tashawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian, apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809) Tashawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnya adalah karunia Ilahi. Syekh as-Suyuthi berkata, "tashawuf adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk". Syekh Abdul Bahri berpendapat bahwa tashawuf adalah jalan menuju Allah dengan metode yang sangat halus dan mendalam disertakan pembentukan pribadi dan akhlaq yang baik kepada-Nya. Dengan melalui zikir-zikir dan amalan-amalan tertentu disertakan tareqat agar bisa meningkatkan maqom disisi-Nya. Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tashawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tashawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw. D. Tauhid Sufistik Tauhib atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli. Karena itu maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif teologis seperti yang tercermin dalam konsep tanzih al-shifat-nya Mu’tazilah; tauhid dalam perspektif filosofis di mana dikatakan bahwa ada identitas antara esensi dan eksistensi pada diri Tuhan, seperti juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik inilah yang akan menjadi perhatian utama pada bagian ini. Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat ”La Ilaha Illa Allah” sebagai ”tidak ada Tuhan kecuali Allah”, para sufi mengartikan kata “Ilah” sebagai “realitas”, sehingga kalimat syahadat itu bermakna, tidak ada realitas (hakikat) kecuali Allah. Dari sini mereka memahami hanya Allah lah yang real, yang hakiki, yang lainnya semu dan nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada: Dialah realitas terakhir, yang berarti wujud yang sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang hak, yaitu Tuhan, dengan Wujud. Dia adalah satu-satunya wujud yang hakiki, dan yang hak adalah satu-satunya yang Wujud. Dalam konteks inilah Sufi berbicara tentang kesatuan Wujud. (وحدة الوجود), di mana dinyatakan bahwa tiada lain yang wujud kecuali Dia. Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia bukanlah permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang terdalam seorang Sufi kehilangan kesadaran dirinya, ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah keadaan fana; setelah itu hanya kehadiran Tuhanlah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam kehadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut baqa, dimana seorang Sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan sebagai satu-satunya Wujud yang Hakiki. Dalam keadaan seperti inilah maka al-Hallaj menyatakan ”Aku adalah Tuhan”, “انا الحق”. Inilah inti tauhid sufistik. Seperti halnya konsep wujud, konsep Tuhan para Sufi--khususnya yang hidup setelah Ibn ‘Arabi--juga akan terasa asing bagi telinga kita. Meskipun begitu konsep Tuhan mereka mungkin bermanfaat untuk meluaskan cakrawala pemahaman kita, dan bahkan menjadi pemersatu bagi konsep Tuhan para teolog dan filosof Muslim yang begitu kelihatan bertentangan bahkan bertolak belakang, seperti yang tercermin dalam kitab Tahafut al-Falasifah karangan al Ghazali. Para Sufi falsafi melihat Tuhan dalam dua tahap atau wajah. Tuhan sebagai dzat (essensi) yang transenden dan Tuhan yang diekspresikan dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Tuhan sebagai dzat amatlah tingginya. Ia tidak bisa kita lukiskan bagaimana dan tidak ada pengetahuan positif apapun tentang-Nya. Apa yang dapat kita ketahui tentang-Nya adalah bahwa Ia tidak sama dengan apapun selain-Nya (ليس كمثله شيء ) dan tidak ada yang setara dengan-Nya (ولم يكن له كفوا احد). Inilah yang oleh para ahli disebut “teologi negatif”, di mana manusia hanya mengetahui-Nya secara negatif bahwa Ia berbeda dengan apapun yang dapat kita bayangkan. Ini terjadi karena dalam tahap ini Tuhan belum lagi mengentitas (Ghairmuta’ ayyun). Pada tahap ini, Tuhan bahkan belum bisa lagi disebut sebagai bersifat personal, dan belum pula bernama Allah sekalipun. Tuhan dalam tahap ini tidak punya kaitan apapun dengan alam. Inilah yang dimaksud dengan ayat “Inna Allah Ghaniy‘an al-alamin”. Di sini Tuhan tidak memikirkan yang lain kecuali diri-Nya sendiri. E. Tarekat-Tarekat Sufi Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing dengan ciri-cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota dari satu atau beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari seorang syekh sufi. Yang berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara pribadi telah akrab dengan penulis. Tarekat Qadiriyah Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain. Tarekat Rifa'iyah Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifa'i (m. 1182) di Basra, tarekat Rifa'i telah menyebar ke Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir ini di Amerika Utara. Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m. 1258) dan akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang luar biasa banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara. Tarekat Maulawiyah Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki (m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputar-putar. Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha'uddin Naqsyaband dari Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi'ah, dan dengan demikian melalui Imam 'Ali, sampai Nabi Muhammad SAW. Tarekat Bektasyiyah Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan Syi'ah merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di Anatolia, Turki, dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini dipandang sebagai pengikut Mazhab Syi'ah. Tarekat Ni'matullah Tarekat Ni'matullah didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni'matullah (m. 1431) di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India. Tarekat Tijaniyah Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber Aljazair (rn. 1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan masuk ke Sudan bagian barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara Nigeria, dan telah diperkenalkan di Amerika Barat dan Utara. Tarekat Jarrahiyah Tarekat Jarrahi didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah dari Istambul (m. 1720). Tarekat ini terutama terbatas di Turki, dengan beberapa cabang di Amerika Barat dan Utara. Tarekat Chistiyah Tarekat yang paling berpengaruh di anak-benua India-Pakistan adalah tarekat Chisti, yang dinamai dengan nama pendirinya. Khwaja Abu Ishaq Syami Chisti (m. 966). Penyebarannya terutama di Asia Tenggara. Tarekat-tarekat sufi, sebagaimana gerakan-gerakan lainnya, cenderung bersiklus. Siklus suatu tarekat sufi biasanya antara dua sampai tiga ratus tahun sebelum melemah dan merosot. Bilamana muncul suatu kebutuhan terhadap suatu tarekat sufi maka tarekat tersebut mulai bangkit, kemudian mencapai klimaksnya, lalu berangsur-angsur berkurang dan bubar. Satu kecenderungan yang dapat diamati dalam sejarah tashawuf ialah bahwa bilamana terdapat kekurangan dalam materi sumber Islam, seperti Al-Qur'an atau sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam suatu tarekat sufi, maka ia cenderung didominasi oleh kultur yang lebih kuat dan tua dari lingkungannya. Percampuran ini dapat dilihat pada tarekat Chistiyah di Asia Tenggara dan pada tarekat-tarekat sufi di Indonesia yang telah menyerap banyak unsur adat Hindu dan Buddha ke dalam praktik-praktiknya. Demikian pula, tarekat-tarekat sufi Afrika di bawah wilayah Sudan telah memadukan beberapa adat keagamaan suku-suku Afrika ke dalam praktik-praktik mereka. Nampaknya di kawasan-kawasan terpencil itu semua tarekat sufi telah mengambil warna kultus. F. Hikmah Sufisme dan Tashawuf dalam Kehidupan Manusia 1-Memperteguhkan keimanan dan membina jatidiri muslim. Tasawuf berfungsi memperteguhkan keimanan dan keyakinan serta menetapkan pendirian seseorang muslim. Apabila batin manusia bersih dari kekotoran sifat-sifat yang tercela dan dari kecintaan terhadap sesuatu yang lain dari Allah, akan terpancarlah (tajalli) cahaya kebenaran ilahi di dalam hati. Kesannya manusia dapat menyaksikan hakikat kebenaran Allah dan kepalsuan sesuatu yang lain dari-Nya dengan terang dan nyata. Inilah nur yang disebut dalam firman Allah yang bermaksud “maka sesiapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka dia itulah orang yang berada di atas cahaya (nur) dari Tuhannya”. Mengenai nur ini Nabi s.a.w. menjelaskan “bahawa nur itu, apabila memasuki hati, ia akan menjadi luas dan lapang (terbuka hijab)”. Iaitu hati yang terhijab dengan pelbagai hijab rohani sehingga ia terhalang dari menyaksikan kebenaran Allah, apabila ia disinari dengan nur ilahi, akan tersingkaplah hijab-hijab tersebut lalu ia dapat menyaksikan kebenaran ilahi. Nur tersebut membawa kepada peningkatan darjat keimanan dan keyakinan hati serta memperteguhkan pendirian. Dalam keadaan ini, hati manusia tidak lagi dipengaruhi oleh sebab musabab, tidak merasa bimbang dan takut terhadapnya serta tidak lagi meletakkan pergantungan hati terhadapnya. Dia tidak merasa gelisah terhadap sumber-sumber rezeki, persoalan hidup atau mati, susah atau senang, kaya atau miskin, untung atau rugi, dapat atau tidak, menang atau kalah dan sebagainya lagi. Ini kerana hatinya telah menyaksikan dengan terang dan nyata kebenaran kewujudan Allah dan adanya ketentuan (qada’ dan qadar) dari-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Dia berkeyakinan penuh bahawa tidak akan terjadi sesuatu itu kecuali dengan kekuasaan, kehendak, ketentuan dan keizinan dari-Nya. Inilah kewalian yang sebenar-benarnya seperti yang digambarkan dalam firman Allah yang bermaksud “ketahuilah bahawa wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan ke atas mereka dan mereka itu tidak berduka cita”. Inilah tingkatan iman yang utama iaitu iman yang didasari penyaksian batin terhadap kebenaran ketuhanan Allah. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling afdal ialah bahawa engkau mengetahui (dengan yakin) bahawa Allah menyaksikan dirimu di mana saja engkau berada”. Di sinilah letaknya jati diri seseorang mukmin. Allah memperteguhkan orang mukmin itu dengan keyakinan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahawa “Allah memperteguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang teguh”. Menurut ahli tafsir, kata-kata yang teguh itu ialah kalimat tauhid (La ilaha illallah), iaitu kalimat iman dan taqwa. 2-Menimbulkan kesedaran jiwa Intipati tashawuf itu ialah benarnya tawajjuh hati ke hadrat ilahi. Permulaan tawajjuh hati itu ialah timbulnya kesedaran jiwa (intibah). Seseorang yang mengalami intibah itu akan menyedari kelemahan, kekurangan dan kesilapan dirinya. Kesedaran inilah yang akan membawa kepada taubat dan usaha memperbaiki dan menyempurnakan diri. Kesedaran ini jugalah yang membangkitkan usaha gigih dalam meningkatkan dan memartabatkan diri. Isyarat ini dapat dilihat dalam al-Qur’an di mana Allah berfirman yang bermaksud “dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perkara keji atau menzalimi diri mereka sendiri lalu mereka mengingati Allah, lantas mereka beristighfar terhadap dosa-dosa mereka, dan tiadalah yang mengampunkan dosa-dosa itu melainkan Allah, dan mereka itu tidak berlarutan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan sedangkan mereka mengetahuinya”. 3-Membina keperibadian dan akhlak mulia. Tasawuf itu dari satu sudut ialah pencapaian akhlak mulia. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari tasawuf di mana akhlak itu adalah merupakan buah atau hasil dari tasawuf. Pencapaian tasawuf membawa kepada pembentukan akhlak mulia. Mengenai akhlak ini, Abu Bakr al-Kattani menjelaskan bahawa “tasawuf itu ialah akhlak, sesiapa yang menambahkan akhlakmu, maka sesungguhnya dia telah menambahkan kesufianmu”. Hakikat ini sesuai dengan hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “orang-orang mukmin yang paling sempurna iman ialah mereka yang paling baik akhlak” Apabila seseorang itu mula merasai hakikat tasawuf dengan sendirinya dia akan berakhlak mulia, kerana pencapaian hakikat tasawuf itu membawa kepada kelembutan hati. Kelembutan hati itulah yang melahirkan berbagai akhlak mulia. Oleh itu semakin tinggi tahap kesufian seseorang itu maka semakin mulia akhlaknya. Nabi s.a.w yang merupakan imam ahli tasawuf adalah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda baginda yang bermaksud “sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. 4-Membentuk insan yang bertanggungjawab Tasawuf itu dari satu dimensi ialah merasai hakikat iman dan mencapai martabat ihsan. Sekurang-kurang martabat ihsan itu ialah seseorang itu merasai dan menyedari bahawa dirinya sentiasa dalam tilikan dan pandangan Allah. Kesedaran inilah yang akan menjadikan seseorang itu merasa bertanggungjawab. Orang yang mengalami kesedaran ini akan merasai bahawa dirinya akan dipersoalkan di hadapan Allah mengenai tanggungjawabnya terhadap dirinya, keluarganya dan juga masyarakatnya. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam perkara kasih sayang, rahmat merahmati, dan belas kasihan sesama mereka adalah seumpama satu tubuh, apabila satu anggota mengadu kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan merasainya dengan tidak dapat tidur malam dan demam”. Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menjelaskan bahawa “iman itu ada lebih dari enam puluh tiga cabang, yang paling tinggi ialah ucapan La ilaha illallah, yang paling rendah ialah membuang sesuatu yang menyakiti di jalanan, dan sifat malu merupakan salah satu cabang iman”. Kemantapan dan kemurnian iman hasil dari pencapaian tasawuf akan menimbulkan rasa prihatin dan tanggungjawab terhadap orang lain. Timbulnya dorongan untuk tidak menyakitkan orang lain dan membuang sesuatu yang boleh menyakitkan mereka seperti yang disebut dalam hadis adalah merupakan hasil dari kemurnian jiwa atau tercapainya tasawuf. 5-Mewujudkan persaudaraan, perpaduan, dan sifat rahmat sesama manusia Tasawuf itu dari satu sudut merupakan peningkatan tahap keimanan dan kesempurnaannya. Apabila tasawuf itu dicapai dan dirasai hakikatnya ia akan menimbulkan suatu keadaan kejiwaan di mana seseorang itu merasa kasih dan bertanggungjawab terhadap semua manusia dan juga makhluk-makhluk lain. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “tidak beriman seseorang kamu itu sehinggalah dia mengasihi untuk saudaranya apa yang dikasihinya untuk dirinya sendiri”. Demikian juga Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain adalah seumpama binaan di mana sebahagiannya memperteguhkan sebahagian yang lain”. PENUTUP G. Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahawa tashawuf itu sebenarnya merupakan pencapaian martabat ihsan yang merupakan jiwa agama. Ia adalah satu dari tiga tunggak utama agama Islam. Pencapaian martabat ini bukan sahaja memperteguhkan hubungan seseorang itu dengan Tuhannya dalam bentuk peningkatan nilai keimanan, ibadah dan akhlak, malah juga hubungannya dengan sesama manusia dalam bentuk kewujudan rasa hormat menghormati, tanggungjawab dan keharmonian mu'amalah. DAFTAR RUJUKAN Agoes MD, 1999, “Merebut Hati Umat Lewat Zikir; Serial Bagian III: K.H. Arifin Ilham”, Femina Online. Fathurahman, Oman, 1999, Tanbih Al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: EFEO & Penerbit Mizan. _____________, 2003 ”Tarekat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui naskah-naskah di Sumatra Barat”, disertasi di FIB UI Depok. Howell, Julie D., 2003, “Modernity and the Borderlands of Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks”, makalah dalam International Conference on Sufism and the Modern in Islam, Bogor, 4-6 September 2003. Ilham, Arifin & Debby Nasution, 2004, Hikmah Zikir Berjamaah, (Jakarta: Penerbit Republika, cetakan VIII). Johns, A. H., 1961, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II, 10-23. www.wikimedia.org

Tuesday, November 22, 2011

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH
Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Studi al-Qur’an




SEMESTER I







Pembimbing
Dr.N. Oneng B, M.Ag





Disusun Oleh:

Adi Mansah

Aqsol Aziz






PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011

ASBABUN NUZUL DAN NASIKH MANSUKH

PENDAHULUAN
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surah berkenaan dengan suatu peristiwa. Asbabun nuzul ada kalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat-ayat al-qur’an. Alqur’an diturunkan untuk memahami petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya, sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah.
Dan kita tahu bahwa dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan yang utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha . Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya .
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah maka dimakalah inipun kami akan membicarakan masalah nasikh-mansukh.
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan . Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya .

PEMBAHASAN

I. ASBABUN NUZUL

A. Pengertian asbabun nuzul

Asbābun Nuzūl (Arab: اسباب النزول, Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat)) adalah ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan. Pada umumnya, Asbabun Nuzul memudahkan para Mufassir untuk menemukan tafsir dan pemahaman suatu ayat dari balik kisah diturunkannya ayat itu. Selain itu, ada juga yang memahami ilmu ini untuk menetapkan hukum dari hikmah dibalik kisah diturunkannya suatu ayat. Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat dapat membantu Mufassir memahami makna ayat. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul suatu ayat dapat memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna suatu ayat Al-Qur’an.
Asbabun nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat al-qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya),tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya. Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal. diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul. Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, Al-wahidi mengatakan: “ Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orangorang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal. Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuz tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul.
Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
B. Pedoman mengetahui Asbabun Nuzul

Aisyah pernah mendengar ketika Khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya Allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, Aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin samit. “Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Definisi asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat al-qur’an terhadap dua kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban dari syariat agama turun tanpa asbabun nuzul. Sahabat Ali ibn mas’ud dan lainnya mengatakan tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam periwatanya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu (kejadian) maka hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini. Asbabun nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih ( mengambil riwayat yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.

C. Macam-Macam Asbabun Nuzul

Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa alsabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. karena permasalahan di dalamnya ada empat bentuk:
Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (Murajjih) dan lainnya tidak.
Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (Murajjih). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Dan keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin untuk mengambil keduanya sekaligus.

D. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul

Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”.
Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, Ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan
kepada nabi.
2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau
pertanyaan.
3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua
kelompok;
a. Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
b. Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.

E. Faedah Asbabun Nuzul
Setelah kita mengetahui tentang ilmu asbabun nuzul tentu akan membawa kemanfaatan untuk kita
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang
memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.

II. NASIKH MANSUKH

A. Pengertian Nasikh Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan .
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqaddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian .

B. Perbedaan antara Nasakh, Takhshis, dan Bada'
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan" meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang sefesifik yang datang kemudian;
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH TAKHSHIS
1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
2. Nasakh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.
4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang tedapat dalam mansukh. 1. Satuan yang terdapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz 'aam.
2. Takhshis adalah merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshis tidak menghapuskan hukum 'aam sama sekali. Hukum 'aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
5. Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada 'aam tetap terikat oleh dalil áam.
Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :
       •    
33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud" (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:
¢OèO #y‰t/ Mçlm; .`ÏiB ω÷èt/ $tB (#ãrr&u‘ ÏM»tƒFy$# ¼çm¨ZãYàfó¡uŠs9 4Ó®Lym &ûüÏm ÇÌÎÈ
35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
D. Jenis-jenis Naskh
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara Nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram . Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun . Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari . Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam sunnah dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam syari'at itu sendiri.
Oleh karena itu dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga dikalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas . Ini contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang lakukanlah!" . Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
E. Kedudukan Naskh
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan) . Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.
F. Hirarki Penggunaan Naskh
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at, baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi .
G. Kawasan penggunaan Naskh
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta( [21]). Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

H. Hikmah adanya Naskh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?( [23])
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

PENUTUP
Kesimpulan
Seteleh mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan panjang lebar
diatas, dapat kami simpulkan bahwasannya:
1. Asbabun nuzul didefinisikan “ sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an
diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi,
baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, serta memiliki faedah didalamnya.
2. Cara turunnya asbabun nuzul itu:
a. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
b. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
c. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua
kelompok;
a. Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
b. Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
3. Faedah asbabun nuzul
a. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
b. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
c. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hukum pada sebab menurut ulama
yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan
sebab dan bukan keumuman lafal.
d. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum
yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (
yang mengkhususkannya ).
e. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi
kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang
tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
f. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta
memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang
mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.

DAFTAR PUSTAKA

'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
Abdul Wahid, Ramli.1994.ulumul qur’an.Jakarta:Rajawali
Al Zarqani, Op.cit.,:80
Al-khattan, Manna’ khalil.2001.Studi ilmu-ilmu qur’an.Bogor:PT. Pustaka litera antar nusa
Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.
Al-Thusi, Uddat al-Ushul
Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78
Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
Shihab, Op.cit.,:144
Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.
Syadali, Ahmad.1997.Ulumul qur’an I.Bandung:CV. Pustaka Setia
Thamrin, Husni.1982.Muhimmah ulumul qur’an.Semarang:Bumi Aksara
Zuhdi, Masfuk.1993.Pengantar ulumul qur’an.Surabaya:Bina Ilmu

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN NORMATIF

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN NORMATIF
Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Pendekatan Studi Islam



SEMESTER I



Pembimbing :

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.




Penyusun :

H. Adi Mansah, Lc., S.Hi




PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER STUDI ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011
1.

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN NORMATIF

PENDAHULUAN
Agama bukan hanya sekedar lambang kesalehan umat atau topik dalam kitab suci umat beragama, namun secara konsepsional kehadiran agama semakin dituntut aktif untuk menunjukkan cara-cara paling efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Tuntutan yang demikian itu akan mudah dijawab oleh kita sebagai kalangan intelektual muslim dan siapa saja tatkala kita sebagai muslim memahami “agama kita sendiri”.bukan hanya sekedar pemahaman dengan pendekatan normatif namun juga harus dilengkapi dengan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan umat.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu pengetahuan yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Berdasarkan latar belakang persoalan diatas, maka dirasa penting untuk mengetahui berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama sekaligus menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia . Sehingga agama akan terasa lebih bermakna dan hadir kokoh dalam masyarakat tatkala kita paham akan agama kita. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, agama akan menjadi sulit untuk difahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama (Naudzubillahi Min Dzalik). Oleh karna itu dalam hal ini kami akan mencoba menggali dan mengemukakan sebuah pendekatan studi islam secara normatif.

2.
RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Pengertian Metode Studi Islam...?
b. Pengertian Islam Normatif...?
c. Pengertian Pendekatan Normatif ...?
d. Macam-macam Metode dan Pendekatan...?
e. Aplikasi Pendekatan Normatif...?

PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Studi Islam
Kata metode berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologi (bahasa), kata metode berasal dari dua suku kata, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui" dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah الطريقة yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti "cara" dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) para ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, terlebih jika metode itu sudah disandingkan dengan kata pendidikan atau pengajaran diantaranya :

3.
Winarno Surakhmad mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Abu Ahmadi mendefinisikan bahwa metode adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur.
Ramayulis mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dengan demikian metode mengajar merupaka alat untuk menciptakan proses pembelajaran.
Omar Mohammad mendefinisikan bahwa metode bermakna segala kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, cirri-ciri perkembangan muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Adapun menurut Prof Dr. H. Abuddin Nata, MA. Menjelaskan bahwa Metode dapat diuraikan, secara garis besar ada dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatis.


4.
Demikianlah penjabaran tentang definisi metode yang dapat kami kemukakan, kalo kita mengaji lebih dalam lagi maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama sekali dan tidak akan ada habisnya bahkan banyak lagi istilah-istilah yang akan kita dapat dan temukan, Insyallah akan kita bahas dalam segment lain.
Jadi sebagai inti dari Metode Studi Islam itu sendiri ialah menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. Bahwa Dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, medodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana dapat dekemukakan jawabannyabahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat di dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analisistis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak romantis, apologis, dan subjektif. sedangkan jika dilihat dari segi historisnya yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies. Perbedaan dalam melihat Islam yag demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu
5.
sendiri. Ketika islam dilihat dari sudur normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
B. Islam Normatif
Islam normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an.
Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis. Disini jelas bahwa Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam islam segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusianya. Jika hal ini dilakukan, maka akan selamat dunia akherat. Sebagai sebuah sistem, islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Al-Quran dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum islam yang pertama dan utama, sedang hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran.
Ketika Al-Quran dan Hadits dijadikan, dipahami dan dijadikan sebagai obyek kajian, maka muncullah penafsiran pemahaman dan pemikiran. Demikian juga lahirlah berbagai jenis ilmu islam yang kemudian disebut”الدراسة الاسلامية” atau “Islamic Studies”. Jika Al-Quran dan Hadits, dipahami dalam bentuk pengetahuan islam, maka kebenaranya berubah menjadi relatif, dan tidak lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan penafsiran merupakan hasil upaya manusia dalam mendekati kebenaran yang dinyatakan dalam Wahyu Allah
6.
dan sunnah Rasulullah..Karena produk manusia, maka hasilnya relatife bisa benar, tapi juga bisa salah. Bisa benar unuk waktu tertentu, tapi tidak untuk waktu yang lain.
Untuk memahami Al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, maka diperlukan berbagai pendekatan metodologi pemahaman Islam yang tepat, akurat dan responsible. Dengan demikian, diharapkan Islam sebagai sebuah sistem ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits dapat dipahami secara komprehensif. Dan diantara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Normatif.
C. Pendekatan Normatif
Sebuah pendekatan yang lebih menekankan aspek norma-norma dalam ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam dipandang secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits selain itu dinyatakan bid’ah.
Kajian islam normative melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
• Tafsir : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
• Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
• Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
• Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
• Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan
Disamping itu bahwa pendekatan normatif digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode pendekatan normatif ini
7.
seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama berasal dari Tuhan dari apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada Islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong Muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Menurut para fuqaha’ aspek normatif adalah aspek ibadah mahdah yang ditekankan pada aspek-aspek legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang apresiatif terhadap dimensi esoteris, yang juga melekat pada religius imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. Sedang aspek historis baik yang berkaitan dengan persoalan sosial, politik, budaya ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan dan sebagainya dianggap termasuk ghairu mahdhah, sehingga dikategorikan fard kifayah. Pengkategorian semacam ini berdampak dalam pemikiran demikian besar dalam tatanan pemikiran umat Islam, yakni permasalahan yang masuk dalam kategori fard kifayah kurang diminati, lantaran sudah terselesaikan lewat perwakilan beberapa kalangan saja. Sedangkan perwakilan itu sendiri tidak jelas. Jadi, jika dalam kelompok ibadah mahdhah campur tangan akal pikiran tidak diperbolehkan, maka kelompok fard kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan wacana intelektual yang kritis dan obyektif. Sebab, dalam wilayah fard kifayah ini terdapat pergumulan dan wacana epistemologi keislaman yang berat, dan di sini pula membutuhkan pendekatan empiris yang obyektif dan rasional.

D. Macam-macam Metode dan Pendekatan
8.
1. Macam-macam metode
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dalam bukunya "jenis-jenis metode pendidikan islam" menjelaskan bahwa metode itu dapat dibagi menjadi lima jenis:
a. Metode Ceramah, yaitu suatu metode yang dilakukan dengan cara penyampaian pengertian-pengertian bahan pembelajaran kepada pelajar dengan jalan penerangan atau penuturan secara lisan. Tujuan yang hendak dicapai dari metode ini adalah untuk memberikan dorongan psikologis kepada peserta didik.
b. Metode Diskusi, yaitu suatu sistem pembelajaran yang dilakukan dengan cara berdiskusi. Dalam metode ini pertanyaan yang diajukan mengandung suatu masalah dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu jawaban saja. Jawaban yang terdiri dari berbagai kemungkinan, memerlukan pemikiran yang saling menunjang dari peserta diskusi, untuk sampai pada jawaban akhir yang disetujui sebagai jawaban yang paling benar atau terbaik.
c. Tanya Jawab dan Dialog, yaitu penyampaian pembelajaran dengan guru mengajukan pertanyaan dan pelajar atau siswa menjawabnya atau berdialog dengan cara saling bertukar fikiran. Metode ini secara murni tidak diawali dengan ceramah, tetapi murid sebelumnya sudah diberi tugas, membaca materi pelajaran tertentu dari sebuah buku.Teknik ini akan membawa kepada penarikan deduksi. Dalam pendidikan, deduksi merupakan suatu metode pemikiran logis yang sangat bermanfaat. Formulasi dari suatu metode umum diluar fakta ternyata lebih berguna sebab peserta didik akan dapat membandingkan dan menyusun konsep-konsep.
d. Metode Perumpamaan atau Metafora. Penjelasan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit memberi gambaran yang jelas bagi peserta didik. Perumpamaan disini adalah perumpamaan yang terdapat dalam al-Qur'an. Seperti,
مثل الذين اتخذو من دو ن الله اولياء كمثل العنكبوت اتخذت بيتا, وانٌِ اوهن البيوت لبيت العنكبوت لوكانوا يعلمون.
9.
yang artinya: "perumpamaan-perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, padahal sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahuinya "
f. Metode Hukuman, yaitu metode yang dilakukan dengan memberikan hukuman kepada peserta didik. Hukuman merupakan metode paling buruk dari metode yang lainnya, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah: hukuman adalah metode kuratif artinya tujuan hukuman untuk memperbaiki peserta didik dan bukan untuk balas dendam, hukuman baru digunakan apabila metode yang lainnya tidak berhasil, sebelum dijatuhi hukuman peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya, hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik, hendaknya dapat dimengerti oleh peserta didik, sehingga ia sadar akan kesalahannya.
2. Macam-macam pendekatan
Menurut Ramayulis pendekatan pandangan falsafi terhadap subject matter yang harus diajarkan dan selanjutnya melahirkan metode mengajar. Menurutnya setidaknya ada enam pendekatan yang dapat digunakan pendidikan Islam dalam pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu :

Pendekatan pengalaman. Yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan, baik secara individual maupun kelompok. Ada pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik.

Pendekatan pembiasaan. Pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja yang
10.
kadang kala tanpa dipikirkan. Pendekatan pembiasaan dalam pendidikan berarti memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajarannya.

Pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan mempergunakan rasio dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan dengan akal yang dimilikinya juga manusia juga dapat membenarkan dan membuktikan adanya Allah.

Pendekatan fungsional, yaitu suatu pendekatan dalam rangka usaha menyampaikan materi agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatan pada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ilmu Agama yang dipelajari anak di sekolah bukanlah hanya sekedar melatih otak tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan social.

Pendekatan keteladanan. Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan keteladanan baik yang berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah ketauladanan. Dan masih banyak lagi metode-metode yang tidak sempat kami sebutkan satu persatu dalam makalah ini.

E. Aplikasi Pendekatan Normatif

Dalam aplikasinya, pendekatan nomatif tekstualis barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam
11.
normatif yang bersifat Qoth’i. persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran maupun Hadits yang tidak tertulis secara eksplisit namun kehadiranya diakui dan bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun, seperti slametan(Tahlilan atau kenduren).

Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai dari kaeyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-salil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan adanya kekurangan yang antara lain eksklusif dogmatis, tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.
Namun demikian melalui pendekatan norrmatift tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agam yang di anutnya.
Saat ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang keshalihan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah,melainkan secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

12.
Seiring perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai dengan munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia,maka menjadi sebuah keniscayaan untuk memahami agama sesuai dengan zamanya. Oleh karena itu, berbagai pendekatan dalam memahami agama yang bersumber dari al-Quran dan Hadits memiliki peran yang sangat setrategis.
Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat ciri khasnya. Agama islam secara normatif pasti benar dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong,tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki pengetahuan dan tehnologi yang setinggi-tingginya, menguasai ketrampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

PENUTUP
F. Kesimpulan
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati islam,baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas.

13.
Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi saja,maka akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran islam yang utuh-tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim sepihak rasanya akan sulit dicapai.
Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia,menjadi sebuah tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Sebaiknya umat islam tidak hanya memahami islam melalui pendekatan teologis saja,agar pemahaman tentang islam menjadi integral,universal,dan komprehensif.

والله اعلم على كل شيء





Daftar Pustaka
- Al-Quranu Al-Karim dan Terjemahannya
- DR.H.Abudin Nata,MA.Metodologi Studi Islam,PT Raja Grafindo Persada
Jakarta, Tahun1998.
- Al Syaibani, Omar Mohammad, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bulan Bintang
- Echol, Jhon M dan Shadily, Hasan, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

- Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia

- Ramayulis dan Nizar, Samsu, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam
Mulia

- Surakhmad, Winarno, 1998, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Bandung :
Tarsito

- Dirjend Pendidikan Islam,Metodologi studi islam,Depag,Tahun 2002.